- berpikir benar dan rasional
- epistimologi : ilmu pengetahuan
- sejarah filsafat untuk indonesia
- organisasi diri
- lin-chi dan dialetika transrasionalitas
- keabadian alam
- zen buddhisme
- ma-tsu dan pendagogi transrasionalitas
- 100 tokoh yang memiliki pengaruh paling besar dan kuat dalam sejarah manusia
- mengenal lebih jauh sosok sokrates
- aliran yang mempengaruhi faktor perkembangan peserta didik
- asal usul balaraja
- filsafat realisme
Yunii Saladinee
Selasa, 06 Januari 2015
[INDEX] Daftar Tugas Mata Kuliah Filsafat Pendidikan
Selasa, 30 Desember 2014
BERFIKIR BENAR DAN RASIONAL
Filsafat
adalah studi tentang seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia
secara kritis dan dijabarkan dalam konsep mendasar. Filsafat tidak
didalami dengan melakukan eksperimen-eksperimen dan percobaan-percobaan,
tetapi dengan mengutarakan masalah secara persis, mencari solusi untuk
itu, memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu.
Akhir dari proses-proses itu dimasukkan ke dalam sebuah proses
dialektika. Untuk studi falsafi, mutlak diperlukan logika berpikir dan
logika bahasa.
Terdapat beberapa kata yang dikembangkan dari kata filsafat. Kata-kata yang dimaksudkan yaitu: filosof, filosofi, dan filosofis. Filsafat itu sendiri merupakan sebuah disiplin ilmu. Ia merupakan disiplin ilmu yang berintikan logika (penalaran yang tepat), estetika (keindahan rasa, kaidah, maupun sifat hakiki dari keindahan itu), metafisika (segala sesuatu yang ada di luar alam biasa), dan epistimologi (dasar-dasar pengetahuan terutama dalam batas-batas hubungan dan nilai). Filosof yaitu orang yang ahli dalam filsafat. Filosofi memiliki makna ilmu filsafat. Filosofis yakni bersifat filsafat, misalnya pada kalimat, “Buah pikiran yang dikemukakannya sangat filosofis dan dalam”.
Dalam pemakaian sehari-hari, kata filsafat sering diartikan menjadi cara berpikir atau alam pikiran. Orang yang mau berpikir sering disebut orang yang berfilsafat. Orang yang berpikir secara filsafat atau lazim disebut filosofis yaitu orang yang berpikir sungguh-sungguh dan mendalam penuh kebijakan. Oleh karena itu, tidaklah heran jika ada orang yang berkata, “Seseorang pada dasarnya filosof”. Pernyataan itu benar, namun tidak seluruhnya. Filosof hanyalah orang yang berpikir sungguh-sungguh dan mendalam dengan penuh kebijakan mengenai suatu objek, misalnya: ketuhanan, alam semesta, juga manusia serta dapat menghasilkan suatu pengetahuan tentang bagaimana sikap manusia seharusnya setelah beroleh pengetahuan tersebut.
Filsafat merupakan ilmu yang paling tua. Itulah sebabnya orang mengatakan bahwa filsafat merupakan ibu dari segala ilmu.Aristoteles dalam Bakry membagi filsafat menjadi empat bagian yaitu: (1) logika; (2) filsafat teoretis yang membawahi tiga cabang ilmu yaitu: fisika, matematika dan biologi; (3) filsafat praktis yang juga melingkupi tiga cabang yakni: etika, ekonomi, dan politik; serta (4) filsafat puitika atau kesenian. Filsafat berhubungan dengan logika. Namun, apa yang dimaksud dengan filsafat dan bagaimanakah hubungannya dengan logika?
Logika berasal dari kata Yunani kuno λόγος (logos) yang berarti hasil pertimbangan akal pikiran yang diutarakan lewat kata dan dinyatakan dalam bahasa. Logika adalah salah satu cabang filsafat. Sebagai ilmu, logika disebut dengan logike episteme (Latin: logica scientia) atau ilmu logika (ilmu pengetahuan) yang mempelajari kecakapan untuk berpikir secara lurus, tepat, dan teratur. Ilmu di sini mengacu pada kemampuan rasional untuk mengetahui dan kecakapan mengacu pada kesanggupan akal budi untuk mewujudkan pengetahuan ke dalam tindakan. Kata logis yang dipergunakan tersebut bisa juga diartikan dengan masuk akal.
Aristoteles berpendapat bahwa logika merupakan ilmu yang menjadi dasar segala ilmu. Ia merupakan ilmu pendahuluan bagi filsafat. Secaraetimologis, kata logika dalam bahasa Indonesia dipungut dari bahasa Belanda yang mulanya berasal dari bahasa Yunani dengan kata sifat logike yang berkaitan dengan kata logos dengan makna kata atau pikiran. Kata ataupikran yang dimaksud di sini adalah yang benar atau yang sehat. Pikiran yang benar atau sehat itu dimanifestasikan dalam bahasa. Jadi, dapat disimpulkan bahwa logika atau mantiq adalah suatu disiplin ilmu yang mempelajari pikiran sehingga orang yang mempelajarinya itu dapat berpikir dan berbahasa secara benar.
Jadi benar bahwa logika adalah bagian dari filsafat. Untuk studi falsafi, mutlak diperlukan logika berpikir dan logika bahasa. Yang kemudian berhubungan dengan logika berpikir rasional dan benar. Pada makalah ini, logika berpikir dan mudah mejadi topik pembahasan kelompok.
A. Berpikir Rasional
1.1 Berpikir Rasional “Here and Now”
Berpikir Rasional diperlukan untuk menghadapi dan memecahkan permasalahan yang kita hadapi sehari-hari. Pada kenyataannya kita memang sejak kecil berhadapan dan berinteraksi dengan hal-hal yang tidak rasional, namun demikian kita tetap hidup dapat hidup dengan keyakinan-keyakinan yang tidak rasional tersebut.
Dampak dari keyakinan dan perilaku yang tidak rasional tersebut adalah bahwa perilaku kita tidak efektif dalam mengerjakan dan menyelesaikan masalah yang kita hadapi. Kita terlalu jauh memikirkan permasalahan yang yang kadang-kadang tidak ada kaitan langsung dengan apa yang kita hadapi, sehingga membuat kita menjadi terlambat untuk menyelesaikan masalah dan akan membuat masalah baru.
Berpikir rasional adalah berpikir tentang masalah ‘sekarang’ yang kita hadapi yang perlu kita selesaikan dan menjadi prioritas karena masalahnya memang perlu dan penting untung diselesaikan. Berpikir rasional mengidentifikasikan permasalahan berdasarkan data-data dan fakta yang ada, bukan berdasarkan asumsi-asumsi yang tidak jelas yang membuat kita menjadi tidak efektif bahkan bisa menjadi depresi.
1.2 Berfikir Rasional di Ranah Publik
Berfikir rasional adalah berfikir menggunakan nalar atas dasar data yang ada untuk mencari kebenaran faktual, kegunaan dan derajat kepentingannya. Berfikir rasional dipakai bila kita ingin maju, ingin mempelajari ilmu. Juga amat perlu bila kita bekerja untuk kepentingan orang banyak, masalah publik, dimana berhadapan dengan bermacam macam orang, tradisi dan kepercayaan, maka kita bakal punya alasan obyektif yang bisa ditunjukkan kepada orang banyak (transparansi), punya alat bukti, punya referensi, bisa diperdebatkan (argumentasi yang logik dan relevan) serta bisa dibandingkan karena punya alat ukur. Hal hal yang emosional tidaklah demikian. Berfikir rasional lawannya adalah berfikir emosional.
Berfikir emosional berguna untuk mendapat rasa senang. Bahagia dan kepuasan pribadi, yang didasari selera. Tolok ukur selera berbeda pada setiap orang, sesuai tingkat senang dan tidak senangnya seseorang, itu artinya tidak universal. Berfikir emosional menjadi dasar ikatan-ikatan emosional, dan tindakan tindakan emosional. Tetapi sukar dimengerti orang lain.
Disini tidak perlu ada fakta atau sesuai fakta, atau pembuktian, cukup dugaan, simbol, atau rekayasa atau fantasi yang keluar dari rasa senang tidak senang, suka tidak suka, benci, sayang, penghormatan, percaya, kagum, respect, persahabatan, kekeluargaan dll. Misalnya si A bisa begitu cinta (=emosional) kepada seseorang atau suatu ajaran tetapi orang lain tidak habis pikir mengapa dia bisa begitu tergila gila dengan orang itu atau ajaran itu.
Cara berfikir spiritual, yang keluar dari keinginan tahu, kagum, juga sangat penting untuk menimbulkan inspirasi, motive dll. Berfikir spiritual, filosofis merupakan kegiatan awal, untuk dijabarkan lebih lanjut melalui pola fikir rasional maupun emosional. Hanya saja bila motive dan rencana itu berhubungan dengan kepentingan publik atau akan dijalankan diranah publik maka perlu pertimbangan lain yang rasional. (Berfikir spiritual dalam pembicaraan disini, saya jadikan satu dengan yang emosional, karena sama sama tidak harus ada data faktual atau pembuktian).
1.3 Berpikir Logika dan Berpikir Emosional
Masing masing punya manfaat dan tempatnya yang sesuai. Jadi untuk kepentingan dan kesenangan pribadi atau kelompok yang punya kepentingan sama, bisa bertindak emosional dengan cara berfikir emosional.
Tetapi dalam masyarakat yang luas, yang berbaur, yang bhineka maka kita harus bertindak dengan menggunakan cara yang rasional, supaya bisa dimengerti dan bisa diikuti alur fikirnya oleh orang banyak.
Kita menghargai masing masing orang atau kelompok orang, yang Bhineka itu. Dengan cara berfikir emosionalnya, budaya kelompoknya dalam wadah personal domain, tetapi kitapun harus menjunjung tinggi kepentingan bersama, kepentingan seluruh macam orang di negara ini berupa kebijakan Tunggal, tidak memihak, dengan berfikir yang rasional dalam wadah public domain. Demikianlah secara prinsip, kita haruslah mengenal pemisahan antara kepentingan publik tidak tercampur dengan kepentingan personal.
Kegiatan emosional tetapi tidak berbahaya bagi publik, tidak mengganggu aktifitas publik, sebaliknya malah bisa menggembirakan publik seperti pementasan budaya, seni, tentu yang demikian, boleh berada di ranah publik. Kadang-kadang justru kepentingan/kegiatan publik terpaksa mengganggu kepentingan personal, seperti pelebaran jalan, kalau itu memang harus dilakukan, maka harus diberikan kompensasi.
Berfikir emosional bisa untuk dirinya sendiri atau kelompoknya sendiri (di personal domain). Tentu diapun bisa juga memakai cara berfikir rasional ini untuk dirinya sendiri atau kelompoknya bila ingin maju. Sedangkan yang rasional dia harus pakai dalam posisinya sebagai anggota masyarakat yang bhineka di public domain.
Dengan mengenal kedua pola berfikir dan kedua ranah ini maka kita akan bisa menempatkan diri. Pola berfikir dan tindakan yang mana yang cocok untuk urusan pribadi dan mana yang cocok untuk urusan publik.
Kiranya ini menjadi sangat penting untuk menjaga ketertiban masyarakat agar tidak jatuh dalam anarki, korupsi, nepotisme dan terorisme . Anarki dan terorisme hanya terjadi bila kepentingan pribadi atau kelompoknya mau dipaksakan ke kelompok lain (masuk dalam domain personal lain) atau kedalam domain publik .
Sedangkan Korupsi dan Nepotisme terjadi bila mereka, para pejabat publik, menggunakan fasilitas publik atau fasilitas negara, untuk kepentingan pribadinya, atau kelompoknya (keluarga dan kroninya). Masih tercampur.
Kepentingan publik haruslah sesuatu yang berpotensi dibutuhkan orang banyak, artinya oleh setiap orang anggota, atau setiap kelompok masyarakat, lintas kelompok, di domain publik itu. Misalnya keamanan, jalan raya pastilah dibutuhkan semua orang. Kalau sampai ada satu kelompok saja dalam domain publik yang tidak membutuhkan masalah itu, maka masalah itu tidak bisa disebut sebagai masalah publik, tetapi itu adalah masalah pribadi atau personal.
Produk negara, kegiatan kenegaraan, serta cara-cara negara, seperti pemilihan umum, adanya partai politik serta undang undang seharusnya adalah hal hal yang melulu kepentingan publik , kepentingan seluruh lapisan masyarakat yang bhineka tunggal ika. Bukan berorientasi kepada kepentingan kelompok. Kalau yang terjadi adalah kepentingan kelompok, maka kegiatan negara ini seolah olah hanya milik kelompok tertentu, milik rezim tertentu.
Tetapi karena pengertian personal issue, public issue dan personal domain serta publik domain belumlah kuat, belum membudaya, maka banyak hal hal yang sifatnya personal atau kelompok atau kedaerahan, sampai saat ini masih berkecimpung dalam public domain, dalam bentuk undang undang, peraturan atau tradisi pejabat.
Reformasi yang digebrak tahun 1998 mempunyai slogan hapuskan KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) adalah gambaran betapa hebatnya waktu itu masalah personal issue masuk dalam publik domain. Kepentingan personal para pejabat masuk menjadi urusan negara.
Tetapi saat itu para tokoh reformasi, pimpinan politik dan negara belum mampu menerjemahkan reformasi sampai ke akarnya yaitu menghindari tercampurnya masalah personal masuk public domain.
Sampai saat ini belum ada suatu produk hukum yang keluar, yang mengatur secara umum untuk melarang personal issue masuk dalam public domain .Maka menurut hemat saya tujuan reformasi itu macet, KKN masih berjalan terus.
Jadi, Reformasi bukanlah kebablasan. Kalau kebablasan artinya kita pernah sampai dan keluar menembusnya. Yang ada adalah kita belum pernah sampai.
Tampaknya kita sudah terlalu lama dan sudah terlalu jauh meninggalkan prinsip penting dalam bernegara, yaitu berperilaku menempatkan masalah apa ditempat mana, secara benar, bukan menempatkannya secara acak .
Bila saja kepentingan kelompok tertentu dapat prioritas dipublik domain, itu akan menimbulkan rasa diskriminatif, rasa iri, mengusik rasa keadilan. Kita akan sukar bersatu, aman dan maju. Maka tidak ada pilihan lain dari pada mengubah perilaku ini sampai ke dasarnya. Kepentingan kelompok seharusnya diurus sendiri oleh kelompoknya.
Perubahan perilaku yang didasari penempatan pola pikir itu menjadi infrastruktur pembangunan mental bangsa.dalam menhadapi masalah publik.
Infrastruktur-fisik adalah jalan raya, energi (listrik mis), air bersih, terminal bus, kapal laut, kapal terbang. Kalau itu sudah tersedia dengan baik, maka pembangunan fisik seperti industri, perdagangan, dll akan mudah.. Kita mudah maju. Begitu pula infrastruktur mental dalam hal ini memakai berfikir rasional diranah publik, akan memudahkan para pejabat publik membuat keputusan yang benar, begitu pula seluruh bangsa ini bisa mengontrol perilaku para pejabat, bangsanya dan dirinya sendiri secara benar. Kita mudah bersatu, makmur dan maju.
Sungguh prihatin dinegara ini masih saja tampak kejadian diranah publik orang bentrok keroyokan satu kelompok dengan kelompok yang lain, demo yang brutal, anarki, menggambarkan perilaku emosional diranah publik, menunjukkan masih rendahnya infrastruktur mental ini. Bahkan digedung DPR, gedung negara untuk memecahkan masalah negara masih ada yang membentuk kubu, fraksi, poros. Yang begini pastilah akan berorientasi pada kepentingan kelompoknya, bukan kepentingan rakyat pada umumnya. Ini menunjukkan belum membudayanya pemikiran diatas bagi kebanyakan orang dan para pejabatnya.
Tanpa pengertian yang menyeluruh dan membudaya, dibangsa ini kita akan sukar untuk berubah.
Oleh karena itu untuk bersatu, aman, makmur dan maju tidak ada pilihan lain daripada mengembangkan prinsip ini dalam system yang kuat, dilaksanakan dengan kepimpinan yang bersih serta dijaga oleh aparat yang tangguh.
1.4 Pendapat Tentang Berpikir Rasional
Saya, sampai saat ini, masih saja meragukan kegiatan berpikir yang dilakukan. Keragu-raguan itu terkait dengan pertanyaan seberapa rasionalkah kegiatan berpikir saya? Tentu saja, menurut saya, berpikir secara rasional atau tidak rasional tidak bisa dibedakan seperti hitam atau putih, tetapi ada gradasinya. Dalam penerimaan akan rasionalitas, maka gradasi yang dimaksudkan adalah kegiatan berpikir dapat dilakukan dari sangat tidak rasional sampai pada sangat rasional. Pada satu titik, saya merasa bahwa apa yang dipikirkan kurang rasional, tetapi pada titik yang lain, saya merasa bahwa apa yang dipikirkan itu cukup atau sangat rasional sehingga layak dinyatakan kepada orang lain.
Bagaimana saya sendiri bisa mengetahui bahwa apa yang dipikirkan itu sangat tidak rasional atau kurang rasional atau cukup rasional atau sangat rasional? Berpikir rasional bagi saya adalah suatu keharusan bagi semua manusia. Dengan kemampuan kerja otak sedemikian rupa, maka hal itu adalah suatu keharusan tak terbantahkan.
Bagi sementara orang, ketika suatu pemikiran dikatakan sangat rasional, maka sesungguhnya pemikiran itu juga sangat filosofis. Tentu saja saya sangat mendukung pendapat ini, walaupun masih banyak orang yang menganggap bahwa esensi filsafat adalah tentang ide-ide atau teori-teori tentang hakekat alam semesta dan tempat manusia di dalamnya. Hal itu tidaklah salah, seratus persen benar, namun ide-ide dan teori-teori seperti itu selalu dimulai dari argumen-argumen yang rasional, yang starting pointnya adalah premis-premis yang dapat diterima dan tak terbantahkan.
Pada titik itu, pemikiran filosofis kemudian mesti memayungi seluruh upaya berpikir manusia, termasuk pemikiran religius yang starting pointnya adalah spekulasi-spekulasi tentang hal-hal yang sakral dan transenden. Selain itu, tradisi pemikiran Barat pun sarat dengan ide tentang berpikir rasional, tidak rasional atau anti-rasional sementara tradisi pemikiran Timur, Afrika, Pribumi Amerika dan masyarakat-masyarakat tradisional lainnya kurang memperhatikan hal itu, walaupun tetap ada penjelasan-penjelasan tentang klaim-klaim yang mereka bangun.
Tentu saja, saya tidak hendak mengatakan bahwa filsafat adalah satu-satunya disiplin yang mengharuskan seluruh manusia yang punya kemampuan berpikir untuk berpikir secara rasional. Namun untuk menjadi bagian dari barisan para pemikir secara filosofis, maka syaratnya adalah terus menerus melatih diri untuk berpikir secara rasional. Filsafat memiliki seperangkat alat untuk digunakan dalam latihan itu. Seperti sepak bola, semakin melatih kemampuan dribbling, semakin baik melakukannya dalam pertandingan yang sebenarnya. Salah satu kegiatan yang paling sering dilakukan oleh seseorang yang rasional adalah berargumentasi. Melatih kemampuan berargumentasi dengan berangkat dari premis-premis yang telah diterima dan berujung pada konklusi adalah hal yang tak bisa ditawar lagi.
Jadi, mari kita mulai melatih diri untuk berpikir rasional.
B. Bepikir Benar
1.1 Berpikir Positif
Berpikir positif erat kaitannya dengan berpikir benar. Kedua-duanya penting bagi kehidupan. Pikiran positif adalah pikiran yang dapat membangun dan memperkuat kepribadian atau karakter. Ini juga berarti bahwa kita bisa menjadi pribadi yang lebih matang, lebih berani menghadapi tantangan, dan melakukan hal-hal yang hebat. Pikiran positif tak akan membuat kita berhenti karena keterbatasan atau kelemahan kita, namun pikiran positif justru akan membuat kita mencari kekuatan kita hari demi hari.
Pascal pernah mengutarakan kalimat-kalimat bijak, yang kira-kira bunyinya seperti ini:
“Pikiran positif datang dari kepercayaan, pikiran negatif datang dari keragu-raguan; rasa takut yang benar adalah rasa takut yang digabungkan dengan harapan, karena itu lahir dari kepercayaan, serta kita berharap pada Tuhan yang kita yakini; sementara rasa takut yang salah digabungkan dengan keputusasaan, karena kita takut pada Tuhan; beberapa orang takut kehilangan-Nya, sementara yang lain takut mencarinya.”
Jadi, kita tak perlu ragu-ragu akan kemampuan kita. Kita harus percaya pada kemampuan kita. Harga diri yang kita miliki seharusnya bisa membuat kita kuat dan terus bersikap positif. Kita juga seharusnya tak pantas untuk menjadikan ‘membuat alasan’ sebagai kebiasaan kita. Sikap seperti ini tak akan bisa membuat kita menjadi pemenang dalam kehidupan ini. Sikap seperti inilah yang akan membunuh ambisi, melemahkan kemauan, dan membahayakan diri kita sendiri.
Orang-orang yang terus menerus dikelilingi oleh ketakutan tak tahu betapa banyaknya pikiran-pikiran negatif yang mempengaruhi mereka tiap harinya. Mereka membatasi diri mereka sendiri dengan sugesti bahwa keterbatasan mereka menghalangi mereka untuk sukses, dan mereka juga percaya bahwa diri mereka tidak berharga. Mereka tidak berpikir bagaimana caranya agar sukses, tapi mereka justru berpikir bagaimana mereka bisa gagal.
Pernahkah Anda mendengar tentang Washington Irving? Irving adalah seorang sastrawan Amerika yang terkenal dengan karyanya yang berjudul “The Legend of Sleepy Hollow”. Suatu ketika, Washington Irving pernah diminta untuk memimpin suatu cara makan malam untuk kedatangan Charles Dickens, namun dia merasa bimbang dan yakin bahwa dirinya tak akan berhasil. Irving ditunjuk sebagai seorang pemimpin perjamuan, dan akhirnya dia menerima tugas tersebut.
Tapi, Irving terus menerus mengatakan bahwa dia takut jika dia akan gagal. Saat malam perjamuan tiba, Irving membuat pembukaan yang bagus, tapi tiba-tiba dia berhenti dan menutup pembicaraannya. Ketika dia duduk, dia berbisik pada teman di sebelahnya, “Sudah saya bilang, saya pasti gagal… dan itu baru saja terjadi!”
Cara berpikir Irving tersebut adalah alasan mengapa ia gagal. Seandainya ia berpikir bahwa dia pasti bisa, bukan pasti gagal, maka saya yakin kejadiannya tidak akan seperti itu.
Dalam membangun kebiasaan berpikir positif — dengan hanya melihat yang terbaik dalam diri Anda dan orang lain, percaya bahwa Anda mampu melakukan hal-hal besar — perlu ditekankan bahwa pikiran kita memang suatu hal yang akan menentukan keberhasilan kita. Apa yang Anda lakukan kemarin menentukan diri Anda hari ini, dan apa yang Anda lakukan hari ini akan menentukan jadi apa Anda besok.
Coba tanyakan pertanyaan berikut: Apakah Anda mendapat manfaat dari berpikir negatif? Apakah Anda ingin memikirkan sesuatu yang akan menghambat diri Anda untuk melakukan hal-hal hebat? Apakah Anda menginginkan pikiran negatif yang pasti akan membawa ketidakpuasan, kesedihan, dan kegagalan?
Jika Anda seperti saya, pasti jawaban Anda untuk semua pertanyaan tersebut adalah ‘tidak’. Namun jika Anda tidak waspada, pikiran semacam itu akan menyelundup masuk ke dalam kepala Anda. Cara yang terbaik untuk mencegahnya adalah dengan terus mengisi pikiran Anda dengan pikiran positif, dengan berpikir bahwa Anda adalah bagian dari ciptaan Tuhan yang hebat, yang punya kemungkinan tak terbatas, yang terus tumbuh baik secara mental maupun spiritual, serta terus berjalan menuju keberhasilan.
Memang sulit untuk terus berpikir positif ketika keadaan kita berlawanan dengan mimpi-mimpi kita. Namun, ketika kita membiasakan diri untuk terus berpikir positif, maka kebiasaan tersebut akan menjadi suatu daya tarik bagi kita. Pikiran baik kita lama kelamaan akan menjadi pikiran besar, sehingga kita akan bisa melakukan hal-hal yang kelihatannya mustahil.
Dalam buku digitalnya yang berjudul ”Guaranteed Success Thinking”, Jim Ewards mencontohkan bahwa kebiasaan berpikir kita bisa diibaratkan dengan bagaimana kita merawat sebuah taman. Benih tanaman adalah pikiran kita, dan bagaimana tukang kebun bekerja diibaratkan sebagai tindakan kita.
Kita, sebagai tukang kebun, harus selalu merawat benih yang ditanam dengan baik. Kita harus membersihkan taman dari kotoran, dan menyingkirkan rerumputan liar yang tumbuh. Kasus ini sama seperti pikiran, yaitu kita harus menyingkirkan hal-hal negatif yang ada dalam kepala kita. Jika kita bisa terus menjaganya, maka suatu saat nanti kita pasti akan mendapat hasil yang kita inginkan, yaitu bunga atau buah yang manis hasil dari kerja keras kita.
Oleh karena itu, Anda tak boleh meremehkan pikiran yang ada dalam kepala Anda sejak Anda bangun tidur. Pikiran positif ketika Anda mengawali hari akan dapat mengubah rasa takut menjadi keberanian. Pikiran tersebut dapat menggerakkan Anda untuk berbuat hal-hal besar.
Berpikir positif sangatlah penting diterapkan dalam hidup, karena pikiran tersebut dapat mempengaruhi Anda untuk melakukan hal-hal yang tepat. Ada banyak orang yang salah mengambil profesi atau bisnis karena mereka tidak berpikir dengan matang dan positif. Mereka tidak bisa membuat pilihan yang tepat bagi hidup mereka.
Sidney Smith pernah berkata:
“Jika kita mengibaratkan profesi dalam hidup sebagai lubang di sebuah meja, ada yang bundar, kotak, dan bujur sangkar; dan manusia sebagai potongan kayu yang bentuknya sesuai lubang tersebut, maka pada umumnya kita menemukan bahwa orang-orang yang berbentuk segitiga masuk ke dalam lubang yang kotak, yang bujur sangkar masuk ke lubang segitiga, sementara yang kotak memaksa diri untuk masuk ke lubang yang bundar.”
2.2 Berpikir Benar
Bagaimana kita berfikir, maka seperti itulah kehidupan kita. Sebagaimana segala sesuatu bisa ditebak dengan melihat wadah dan tempatnya. MARCUS AURELIUS, seorang Kaisar Romawi mengatakan, “Hidup kita dibentuk oleh pikiran kita”. Dan Rasulullah SAW pernah menasehati kita umatnya dalam sebuah sabda beliau : ”Barangsiapa yang rela maka baginya kerelaan, dan barangsiapa yang benci maka baginya kebencian”. Memang demikanlah adakalanya seseorang menerima ujian dan cobaan-Nya dengan dada sempit dan jiwa penuh kemurungan ia merasakan deritanya yang bertindih-tindih dan adapula seorang yang berlapang hati menghadapi kesulitan di hadapan langkah kakinya. Kesadaran bahwa ujian yang menimpanya hanyalah perputaran hidup yang mesti di lewati, kesabaran menjalaninya akan melahirkan kemudahan serta gugurnya dosa dan kesalahan di masa lalu, maka tidakkah kita rela menjalani kepahitan jika itu mampu dan bisa membersihkan hati dan jiwa ?
Dan akhirnya, marilah kita mencoba untuk selalu berfikir benar, memperbaharui akal dan pandangan dengan Islam yang jauh dari kesempitan, dan insya Allah akan kita jumpai sangat banyak perubahan dalam diri kita. Pergeseran terbaik dan kemajuan-kemajuan terindah yang ada kalanya kita sendiri sulit untuk mempercayainya. Tapi ini adalah jalan yang pasti dan tak akan ada sedikitpun kerugian di dalamnya
2.3 Pendidikan Berpikir Salah.
Di Sekolah (bahkan berlanjut hingga lulus), kita dibiasakan untuk berpikir sesuai benar dengan rumus atau mengikuti pola yang sudah terbukti sukses dan diterima masyarakat. Pola kegiatan ‘berpikir benar’ ini akan membentuk siklus rutin yang tidak progresif, karena membentuk kebiasaan untuk selalu menghasilkan solusi dengan cara mencari rumus atau metode yang dapat menjawab permasalahannya. Kebiasaan ini akan membentuk mentalitas aplikator (bukan ideator) yang hanya terbiasa mengaplikasikan rumus dan contoh, bukan justru membuat yang baru.
Fakta dalam dunia pendidikan memang nampaknya tidak separah generalisasi di atas. Banyak sekolah yang sudah menyuburkan pendidikan kreatif; sebuah studi yang salah satunya menganjurkan untuk berpikir salah. Tapi juga merupakan bagian dari fakta bahwa masih banyak sekolah yang mengartikan kreativitas sebagai pendidikan keterampilan (bukan kepribadian), sehingga sah saja kalau bentuk pendidikannya berupa kegiatan melukis atau teater, bahkan diposisikan sebagai ekstra kurikuler. Dengan mewujudkan kreativitas sebagai keterampilan bahkan diposisikan sebagai ekstra, maka timbul pandangan bahwa tidak semua orang harus menguasainya bahkan menghayatinya. Kesannya, kalau anda ingin jadi dokter, ahli fisika, ahli hukum, maka anda tidak perlu kreatif. Bila sudah demikian maka jangan salahkan kalau banyak sarjana yang tidak punya solusi untuk bisa eksis dan bermanfaat dalam masyarakatnya karena ia tidak kreatif. Sarjana sibuk mencari pekerjaan, karena itulah jalur benar dalam berprofesi. Ia tidak terbiasa berpikir salah dalam membentuk eksistensi, sehingga akhirnya hanya bisa reaktif bahkan pasif pada keadaan.
Salah satu cara ‘salah’ yang sebaiknya kita pikirkan adalah dengan memasukkan unsur pendidikan kreatif dalam kesetaraan dengan pendidikan moral dan etika di sekolah. Pendidikan moral berupaya membentuk prinsip benar atau salah, memaknai kebaikan atau keburukan. Tanpa pengaruh kreativitas maka moralitas kehilangan esensinya, karena kita hanya memaknai moralitas sebagai tatanan yang harus diikuti, tidak membuka skenario ‘bagaimana jika moralitas itu salah’ yang justru dapat mengungkap nilai sesungguhnya dari tatanan moral itu. Tanpa kreativitas maka tidak ada improvisasi tatanan moral, sehingga manusia bentuknya seperti robot yang kaku pada aturan, sehingga kehilangan kemampuan memaknai nilai di balik aturan itu.
2.4 Upaya Berpikir Baik dan Benar
Biasanya orang yang sedang marah atau kalap, tidak dapat berpikir secara akal sehat dan tanpa berpikir secara penalaran, sehingga dalam keadaan seperti ini akal akan dikalahkan oleh emosi yang meledak. Manusia yang marah pasti tanpa adanya kesadaran dan keseimbangan pikiran. Pada akhirnya suatu saat dia akan kecewa oleh tingkahnya sendiri.
Orang yang berbahagia dan tenteram hidupnya ialah orang yang memikirkan setiap langkahnya secara akal sehat. Dia melihat kemampuan dirinya dan selalu menarik kesimpulan dari pertimbangan-pertimbangan dengan akal sehat (rasional)
Dibawah ini merupakan suatu upaya bagaimana berpikir baik dan benar dengan melakukan cara penalaran, yang konon bisa dipelajari :
Harus berpikir secara kritis, hal ini dilakukan agar apabila ada sesuatu keterangan yang tidak atau belum pasti hendaknya jangan dipercaya begitu saja.
Sebelum bertindak sebaiknya harus berpikir lebih dahulu untuk beberapa saat (konsentrasi).
Pandangan harus lebih luas daripada pikiran kita sendiri, sehingga harus waspada terhadap prasangka-prasangka sendiri. Jangan menganggap benar apa yang kita sukai dan menolak apa yang kita benci.
Berpikir dua kali dan jangan gegabah mengambil keputusan atau mengemukakan pendapat seakan-akan kebenaran mutlak/terlalu berani tanpa perhitungan.
Bersikap terbuka, mungkin pendapat kita dibenarkan/dikoreksi atau ditinggalkan sama sekali atas dasar informasi yang benar.
Hendaknya kita berpikir dalam jangka panjang dan berpandangan luas.
Kita harus bersikap kritis terhadap apa yang dikemukakan oleh orang lain, untuk check and recheck juga terhadap pendapat sendiri.
Kita wajib bersikap optimis, mencari segi-segi positif dalam segala hal dan berdiskusi juga dalam hal berpikir, serta bersikap simpatik terhadap orang lain.
Harus bertaqwa, karena taqwa itu sendiri adalah merupakan sumber kejujuran. Dengan bertaqwa tentunya akan diikuti oleh kewibawaan.
Bersikap jujur, orang banyak belajar dari kesalahannya sendiri, asal disadari dan diakuinya.
Harus belajar terus-menerus
Bekerja dengan hatinurani yang tulus dan berpikir secara teratur dan berencana, agar mampu tampil secara profesional.
2.5 Analogi Lampu Lalu Lintas
Tanpa pengaruh kreativitas dalam moral dan etika, orang hanya patuh pada norma, tapi tidak memahami nilainya. Orang hanya patuh pada lampu lalu lintas, tapi tidak mengerti nilai kedisiplinan dan keselamatan. Maka ketika lampu di perempatan itu hijau, maka ia segera maju, tidak peduli bahwa salah satu jalurnya masih macet, juga tidak mau mempertimbangkan nilai bahwa kalau ia maju maka akan memperparah kemacetan. Ia yakin benar bahwa lampu hijau itu benar. Ia tidak punya alternatif berpikir bahwa lampu hijau itu salah.
Analogi ini juga berlaku untuk orang yang meyakini bahwa apabila ia melakukan hal yang juga dilakukan oleh orang lain di lingkungannya, itu adalah hal yang benar. Kalau sudah demikian maka jangan disalahkan kalau banyak orang korupsi. Tapi jangan salah menilai; Korupsi sudah pasti bukan produk dari berpikir salah, karena itu sudah ada rumusnya: kalau ingin cepat kaya maka cara termudah adalah korupsi. Mereka yang tidak ingin korupsi pastilah ada yang salah dalam cara berpikirnya.
2.6 Muara Berpikir Salah
Berpikir salah bukan maksudnya berpikir asal-asalan yang penting salah, atau dilandasi semangat memberontak tanpa alasan, yang sudah pasti benar-benar tidak berguna. Berpikir salah dimaksudkan untuk menyuburkan ide, memperkaya kemungkinan, memotivasi untuk berani berimajinasi dan berpikir sungguh-sungguh dengan semangat membentuk nilai baru yang lebih bermanfaat dan kaya kualitas etika. Berpikir salah bukan dalam maksud memberanikan orang untuk melanggar lampu merah.
Berpikir salah sudah pasti memerlukan referensi dan pemetaan dari berpikir benar, sehingga sifatnya bukan mengulang dari nol atau mengesampingkan progres yang dapat membuatnya menjadi kegiatan yang tidak efisien dan kontra produktif. Studi berpikir salah akan baik untuk ditanamkan sebagai prinsip penyeimbang ilmu pasti dan akan berguna bila disuburkan dalam kegiatan produksi ide.
1. Contoh Kasus
Berpikir Rasional
Hebohnya berita dukun cilik ponari yang didatangi ribuan warga karena bias dianggap bias menyembuhkan segalam macam penyakit adalah bagian dari gambaran mentalitas budaya bangsa Indonesia. Fenomena dukun cilik Ponari mencerminkan mantalitas budaya bangsa Indonesia. Fenomena dukun cilik Ponari mencerminkan mentalitas budaya mistis yang disebut dengan mentalitas ideasional.
Masyarakat dengan mentalitas budaya ideasional, cenderung kurang berpikir rasional. Masyarakat ideasional, selalu berharap dapat menyelesaikan masalah dengan cara-cara ajaib, dan cepat seperti sulap seperti dalam cerita-cerita film Aladin. Masyarakat ideasional, selalu berharap dapat menyelesaikan maslah dengan cara-cara ajaib, dan cepat seperti sulap seperti dalam cerita-cerita film Aladin. Masyarakat ideasional sangat percaya bahwa pada benda-benda keramat, ada keajaiban yang dapat memenuhi segala keinginan. Akibatnya, tindakan-tindakan masyarakat ideasional sangat percaya bahwa pada benda-benda keramat, ada keajaiban yang dapat memenuhi segala keinginan. Akibatnya, tindakan-tindakan masyarakat ideasional, kurang dimengerti dan dipahami oleh akal sehat.
Dilihat dari mentalitas budaya rasional, fenomena tindakan-tindakan masyarakat seperti kasus Ponari, bisa dilihat sebagai sebagai tindakan-tindakan “bodoh” masyarakat yang kurang memperhitungkan pola-pola pikir rasional. Tetapi itulah realitasnya, bahwa mnasyarakat ideasional sangat mempercayai keajaiban-keajaiban sampai menghilangkanpotensi-potensi pikran rasionalnya. Untuk itulah realitasnya, bahwa masyarakat ideasional dalam kasus tertentu mudah sekali terkena tipu daya. Seperti kita ketahui, pernah terjadi penipuan dalam kasus-kasus berbau mistik seperti penggnadaan uang, hipnotis, dan praktek-praktek dukun cabul.
Berpikir Benar
Pagi ini, saya berangkat kerja pada jam yang sama seperti hari-hari biasanya. Tapi di tengah jalan saya terjebak macet tidak seperti biasanya. Saya tidak bisa melihat di depan ada apa pastinya, tapi kalau tidak salah mungkin ada acara karnaval anak-anak TK daerah situ.
Tetap disitu, saya akan tetap terjebak macet. Akhirnya saya memilih jalan yang lain, memutar, dengan harapan saya bisa lolos dari kemacetan tersebut. Tapi dasar apes, di rute kedua itu saya malah terjebak kemacetan yang lebih parah dari jalan yang pertama. Alhasil, saya terlambat tiba di kantor.
Apa pilihan saya salah?
Bila langsung melihat hasilnya, tentu anda akan mengatakan saya tolol. Lha wong di rute kedua lebih macet kenapa milih jalan tersebut? Lebih baik kan tetap di rute pertama?
Hehe, sayangnya dalam hidup kita tak pernah bisa langsung tahu hasilnya sebelum dilakukan. Diprediksi mungkin bisa, tapi tak menjamin keakuratannya. Dalam kasus saya di atas, saya tidak menyesal dengan pilihan saya untuk melalui rute kedua. Karena pilihan saya yang salah berdasar pemikiran saya yang benar. Saya berpikir seperti ini;
Bila saya tetap berada di jalan pertama, sudah pasti saya akan terjebak macet. Mungkin 10 menit, atau bisa jadi lebih.
Bila saya mencoba alternatif lain, yaitu rute kedua, saya mungkin akan terjebak lebih parah lagi, tapi tentu ada kemungkinan sebaliknya. Mungkin saya bisa lolos dari kemacetan.
Ini yang saya sebut dengan “berpikir benar”. Dan bagi saya, lebih baik memilih salah karena berpikir benar daripada pilihan benar karena berpikir salah.
Salah satu faktor yang kurang dieksplorasi dalam dunia pendidikan kita adalah keberanian untuk berpikir salah. Dari Sekolah Dasar hingga tingkat Tinggi, aktivitas belajar kita didominasi oleh anjuran untuk selalu berpikir benar, boleh berpikir beda tetapi kalau salah akan seringkali diganjar dengan nilai buruk dan dilecehkan dalam pergaulan karena dianggap tidak intelek. Kita jadi trauma berpikir salah.
Berpikir Benar dan Rasional (Video)
Video ini berjudul Think (Berpikir), menggambarkan betapa pentingnya berpikir. Digambarkan ada seorang individu (sebut saja A) yang bingung mencari tahu, bagaimana caranya melampaui suatu lubang di tembok, yang menghubungkan dengan dunia lain di luar sana. Ketika dia sedang bingung hadirlah orang-orang yang datang menawarkan kebenaran. Ikuti saya ! Kata mereka. Faith (Kepercayaan), membawa A menuju tempat peribadatan, mengajari A, untuk beribadah. Namun A pergi, bukan itu yang dia cari.
Politic (Politik), setelah A pergi dari Faith, lalau dia melihat kerumunan Politik, dia tertarik dan mendekat ke kerumunnan tersebut. Lalu ingin bergabung, namun mengurungkan niatnya melihat symbol Dollar (Uang) pada pimpinan Politic, yang berbau materialism.
Fight (Perjuangan), bertemulah A dengan fight. Namun Akhirnya pergi, setelah melihat symbol senjata, kekuatan yang seolah-olah menjunjung tinggi kekuasaan.
Usai, perjalanannya A bertemu orang-orang tersebut lalu, kembalilah A, ke tempat semula, di depan lubang tembok tadi, sambil melanjutkan mencorat-coret, mencari tahu cara masuk ke dalam lubang tembok tersebut. Tak lama kemudian, datang Faith, Politic, dan Fight dengan pengikutnya masing-masing yang kemudian mencoba masuk ke dalam lubang dengan cara masing-masing, yakin caranya sendiri yang paling benar. Namun tidak ada yang berhasil. Lalu A berpikir (THINK), dan menemukan caranya sendiri lalu berhasil masuk dan melewati lubang tersebut, menemukan dunia baru di luar sana yang ternyata lebih indah. Itulah Reality ( Kenyataan ).
Pesan yang disampaikan:
Seseorang kadang bingung dengan memecahkan masalah/ memutuskan sesuatu, kemudian kerap mengikuti cara/ajakan orang lain untuk menyelesaikan semua itu. Namun ternyata apa yang dia ikuti tidak selamanya cocok dan benar adanya. Sampai pada akhirnya seseorang tersebut tersadar, dan berpikir (THINK) lalu dia akan mampu menyelesaikan semua.
Ketika seseorang
berpikir, dalam hal ini berpikir benar dan rasional bukan sekedar
ikut-ikut maka dia akan menemukan jawaban. Kemudian mendapat sesuatu
yang kadang tidak terbayangkan indahnya.Kebenaran adalah kenyataan itu
sendiri (REALITY), kenaran adalah sesuatu yang telah terbukti dan
menjadi kenyataan.
Terdapat beberapa kata yang dikembangkan dari kata filsafat. Kata-kata yang dimaksudkan yaitu: filosof, filosofi, dan filosofis. Filsafat itu sendiri merupakan sebuah disiplin ilmu. Ia merupakan disiplin ilmu yang berintikan logika (penalaran yang tepat), estetika (keindahan rasa, kaidah, maupun sifat hakiki dari keindahan itu), metafisika (segala sesuatu yang ada di luar alam biasa), dan epistimologi (dasar-dasar pengetahuan terutama dalam batas-batas hubungan dan nilai). Filosof yaitu orang yang ahli dalam filsafat. Filosofi memiliki makna ilmu filsafat. Filosofis yakni bersifat filsafat, misalnya pada kalimat, “Buah pikiran yang dikemukakannya sangat filosofis dan dalam”.
Dalam pemakaian sehari-hari, kata filsafat sering diartikan menjadi cara berpikir atau alam pikiran. Orang yang mau berpikir sering disebut orang yang berfilsafat. Orang yang berpikir secara filsafat atau lazim disebut filosofis yaitu orang yang berpikir sungguh-sungguh dan mendalam penuh kebijakan. Oleh karena itu, tidaklah heran jika ada orang yang berkata, “Seseorang pada dasarnya filosof”. Pernyataan itu benar, namun tidak seluruhnya. Filosof hanyalah orang yang berpikir sungguh-sungguh dan mendalam dengan penuh kebijakan mengenai suatu objek, misalnya: ketuhanan, alam semesta, juga manusia serta dapat menghasilkan suatu pengetahuan tentang bagaimana sikap manusia seharusnya setelah beroleh pengetahuan tersebut.
Filsafat merupakan ilmu yang paling tua. Itulah sebabnya orang mengatakan bahwa filsafat merupakan ibu dari segala ilmu.Aristoteles dalam Bakry membagi filsafat menjadi empat bagian yaitu: (1) logika; (2) filsafat teoretis yang membawahi tiga cabang ilmu yaitu: fisika, matematika dan biologi; (3) filsafat praktis yang juga melingkupi tiga cabang yakni: etika, ekonomi, dan politik; serta (4) filsafat puitika atau kesenian. Filsafat berhubungan dengan logika. Namun, apa yang dimaksud dengan filsafat dan bagaimanakah hubungannya dengan logika?
Logika berasal dari kata Yunani kuno λόγος (logos) yang berarti hasil pertimbangan akal pikiran yang diutarakan lewat kata dan dinyatakan dalam bahasa. Logika adalah salah satu cabang filsafat. Sebagai ilmu, logika disebut dengan logike episteme (Latin: logica scientia) atau ilmu logika (ilmu pengetahuan) yang mempelajari kecakapan untuk berpikir secara lurus, tepat, dan teratur. Ilmu di sini mengacu pada kemampuan rasional untuk mengetahui dan kecakapan mengacu pada kesanggupan akal budi untuk mewujudkan pengetahuan ke dalam tindakan. Kata logis yang dipergunakan tersebut bisa juga diartikan dengan masuk akal.
Aristoteles berpendapat bahwa logika merupakan ilmu yang menjadi dasar segala ilmu. Ia merupakan ilmu pendahuluan bagi filsafat. Secaraetimologis, kata logika dalam bahasa Indonesia dipungut dari bahasa Belanda yang mulanya berasal dari bahasa Yunani dengan kata sifat logike yang berkaitan dengan kata logos dengan makna kata atau pikiran. Kata ataupikran yang dimaksud di sini adalah yang benar atau yang sehat. Pikiran yang benar atau sehat itu dimanifestasikan dalam bahasa. Jadi, dapat disimpulkan bahwa logika atau mantiq adalah suatu disiplin ilmu yang mempelajari pikiran sehingga orang yang mempelajarinya itu dapat berpikir dan berbahasa secara benar.
Jadi benar bahwa logika adalah bagian dari filsafat. Untuk studi falsafi, mutlak diperlukan logika berpikir dan logika bahasa. Yang kemudian berhubungan dengan logika berpikir rasional dan benar. Pada makalah ini, logika berpikir dan mudah mejadi topik pembahasan kelompok.
A. Berpikir Rasional
1.1 Berpikir Rasional “Here and Now”
Berpikir Rasional diperlukan untuk menghadapi dan memecahkan permasalahan yang kita hadapi sehari-hari. Pada kenyataannya kita memang sejak kecil berhadapan dan berinteraksi dengan hal-hal yang tidak rasional, namun demikian kita tetap hidup dapat hidup dengan keyakinan-keyakinan yang tidak rasional tersebut.
Dampak dari keyakinan dan perilaku yang tidak rasional tersebut adalah bahwa perilaku kita tidak efektif dalam mengerjakan dan menyelesaikan masalah yang kita hadapi. Kita terlalu jauh memikirkan permasalahan yang yang kadang-kadang tidak ada kaitan langsung dengan apa yang kita hadapi, sehingga membuat kita menjadi terlambat untuk menyelesaikan masalah dan akan membuat masalah baru.
Berpikir rasional adalah berpikir tentang masalah ‘sekarang’ yang kita hadapi yang perlu kita selesaikan dan menjadi prioritas karena masalahnya memang perlu dan penting untung diselesaikan. Berpikir rasional mengidentifikasikan permasalahan berdasarkan data-data dan fakta yang ada, bukan berdasarkan asumsi-asumsi yang tidak jelas yang membuat kita menjadi tidak efektif bahkan bisa menjadi depresi.
1.2 Berfikir Rasional di Ranah Publik
Berfikir rasional adalah berfikir menggunakan nalar atas dasar data yang ada untuk mencari kebenaran faktual, kegunaan dan derajat kepentingannya. Berfikir rasional dipakai bila kita ingin maju, ingin mempelajari ilmu. Juga amat perlu bila kita bekerja untuk kepentingan orang banyak, masalah publik, dimana berhadapan dengan bermacam macam orang, tradisi dan kepercayaan, maka kita bakal punya alasan obyektif yang bisa ditunjukkan kepada orang banyak (transparansi), punya alat bukti, punya referensi, bisa diperdebatkan (argumentasi yang logik dan relevan) serta bisa dibandingkan karena punya alat ukur. Hal hal yang emosional tidaklah demikian. Berfikir rasional lawannya adalah berfikir emosional.
Berfikir emosional berguna untuk mendapat rasa senang. Bahagia dan kepuasan pribadi, yang didasari selera. Tolok ukur selera berbeda pada setiap orang, sesuai tingkat senang dan tidak senangnya seseorang, itu artinya tidak universal. Berfikir emosional menjadi dasar ikatan-ikatan emosional, dan tindakan tindakan emosional. Tetapi sukar dimengerti orang lain.
Disini tidak perlu ada fakta atau sesuai fakta, atau pembuktian, cukup dugaan, simbol, atau rekayasa atau fantasi yang keluar dari rasa senang tidak senang, suka tidak suka, benci, sayang, penghormatan, percaya, kagum, respect, persahabatan, kekeluargaan dll. Misalnya si A bisa begitu cinta (=emosional) kepada seseorang atau suatu ajaran tetapi orang lain tidak habis pikir mengapa dia bisa begitu tergila gila dengan orang itu atau ajaran itu.
Cara berfikir spiritual, yang keluar dari keinginan tahu, kagum, juga sangat penting untuk menimbulkan inspirasi, motive dll. Berfikir spiritual, filosofis merupakan kegiatan awal, untuk dijabarkan lebih lanjut melalui pola fikir rasional maupun emosional. Hanya saja bila motive dan rencana itu berhubungan dengan kepentingan publik atau akan dijalankan diranah publik maka perlu pertimbangan lain yang rasional. (Berfikir spiritual dalam pembicaraan disini, saya jadikan satu dengan yang emosional, karena sama sama tidak harus ada data faktual atau pembuktian).
1.3 Berpikir Logika dan Berpikir Emosional
Masing masing punya manfaat dan tempatnya yang sesuai. Jadi untuk kepentingan dan kesenangan pribadi atau kelompok yang punya kepentingan sama, bisa bertindak emosional dengan cara berfikir emosional.
Tetapi dalam masyarakat yang luas, yang berbaur, yang bhineka maka kita harus bertindak dengan menggunakan cara yang rasional, supaya bisa dimengerti dan bisa diikuti alur fikirnya oleh orang banyak.
Kita menghargai masing masing orang atau kelompok orang, yang Bhineka itu. Dengan cara berfikir emosionalnya, budaya kelompoknya dalam wadah personal domain, tetapi kitapun harus menjunjung tinggi kepentingan bersama, kepentingan seluruh macam orang di negara ini berupa kebijakan Tunggal, tidak memihak, dengan berfikir yang rasional dalam wadah public domain. Demikianlah secara prinsip, kita haruslah mengenal pemisahan antara kepentingan publik tidak tercampur dengan kepentingan personal.
Kegiatan emosional tetapi tidak berbahaya bagi publik, tidak mengganggu aktifitas publik, sebaliknya malah bisa menggembirakan publik seperti pementasan budaya, seni, tentu yang demikian, boleh berada di ranah publik. Kadang-kadang justru kepentingan/kegiatan publik terpaksa mengganggu kepentingan personal, seperti pelebaran jalan, kalau itu memang harus dilakukan, maka harus diberikan kompensasi.
Berfikir emosional bisa untuk dirinya sendiri atau kelompoknya sendiri (di personal domain). Tentu diapun bisa juga memakai cara berfikir rasional ini untuk dirinya sendiri atau kelompoknya bila ingin maju. Sedangkan yang rasional dia harus pakai dalam posisinya sebagai anggota masyarakat yang bhineka di public domain.
Dengan mengenal kedua pola berfikir dan kedua ranah ini maka kita akan bisa menempatkan diri. Pola berfikir dan tindakan yang mana yang cocok untuk urusan pribadi dan mana yang cocok untuk urusan publik.
Kiranya ini menjadi sangat penting untuk menjaga ketertiban masyarakat agar tidak jatuh dalam anarki, korupsi, nepotisme dan terorisme . Anarki dan terorisme hanya terjadi bila kepentingan pribadi atau kelompoknya mau dipaksakan ke kelompok lain (masuk dalam domain personal lain) atau kedalam domain publik .
Sedangkan Korupsi dan Nepotisme terjadi bila mereka, para pejabat publik, menggunakan fasilitas publik atau fasilitas negara, untuk kepentingan pribadinya, atau kelompoknya (keluarga dan kroninya). Masih tercampur.
Kepentingan publik haruslah sesuatu yang berpotensi dibutuhkan orang banyak, artinya oleh setiap orang anggota, atau setiap kelompok masyarakat, lintas kelompok, di domain publik itu. Misalnya keamanan, jalan raya pastilah dibutuhkan semua orang. Kalau sampai ada satu kelompok saja dalam domain publik yang tidak membutuhkan masalah itu, maka masalah itu tidak bisa disebut sebagai masalah publik, tetapi itu adalah masalah pribadi atau personal.
Produk negara, kegiatan kenegaraan, serta cara-cara negara, seperti pemilihan umum, adanya partai politik serta undang undang seharusnya adalah hal hal yang melulu kepentingan publik , kepentingan seluruh lapisan masyarakat yang bhineka tunggal ika. Bukan berorientasi kepada kepentingan kelompok. Kalau yang terjadi adalah kepentingan kelompok, maka kegiatan negara ini seolah olah hanya milik kelompok tertentu, milik rezim tertentu.
Tetapi karena pengertian personal issue, public issue dan personal domain serta publik domain belumlah kuat, belum membudaya, maka banyak hal hal yang sifatnya personal atau kelompok atau kedaerahan, sampai saat ini masih berkecimpung dalam public domain, dalam bentuk undang undang, peraturan atau tradisi pejabat.
Reformasi yang digebrak tahun 1998 mempunyai slogan hapuskan KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) adalah gambaran betapa hebatnya waktu itu masalah personal issue masuk dalam publik domain. Kepentingan personal para pejabat masuk menjadi urusan negara.
Tetapi saat itu para tokoh reformasi, pimpinan politik dan negara belum mampu menerjemahkan reformasi sampai ke akarnya yaitu menghindari tercampurnya masalah personal masuk public domain.
Sampai saat ini belum ada suatu produk hukum yang keluar, yang mengatur secara umum untuk melarang personal issue masuk dalam public domain .Maka menurut hemat saya tujuan reformasi itu macet, KKN masih berjalan terus.
Jadi, Reformasi bukanlah kebablasan. Kalau kebablasan artinya kita pernah sampai dan keluar menembusnya. Yang ada adalah kita belum pernah sampai.
Tampaknya kita sudah terlalu lama dan sudah terlalu jauh meninggalkan prinsip penting dalam bernegara, yaitu berperilaku menempatkan masalah apa ditempat mana, secara benar, bukan menempatkannya secara acak .
Bila saja kepentingan kelompok tertentu dapat prioritas dipublik domain, itu akan menimbulkan rasa diskriminatif, rasa iri, mengusik rasa keadilan. Kita akan sukar bersatu, aman dan maju. Maka tidak ada pilihan lain dari pada mengubah perilaku ini sampai ke dasarnya. Kepentingan kelompok seharusnya diurus sendiri oleh kelompoknya.
Perubahan perilaku yang didasari penempatan pola pikir itu menjadi infrastruktur pembangunan mental bangsa.dalam menhadapi masalah publik.
Infrastruktur-fisik adalah jalan raya, energi (listrik mis), air bersih, terminal bus, kapal laut, kapal terbang. Kalau itu sudah tersedia dengan baik, maka pembangunan fisik seperti industri, perdagangan, dll akan mudah.. Kita mudah maju. Begitu pula infrastruktur mental dalam hal ini memakai berfikir rasional diranah publik, akan memudahkan para pejabat publik membuat keputusan yang benar, begitu pula seluruh bangsa ini bisa mengontrol perilaku para pejabat, bangsanya dan dirinya sendiri secara benar. Kita mudah bersatu, makmur dan maju.
Sungguh prihatin dinegara ini masih saja tampak kejadian diranah publik orang bentrok keroyokan satu kelompok dengan kelompok yang lain, demo yang brutal, anarki, menggambarkan perilaku emosional diranah publik, menunjukkan masih rendahnya infrastruktur mental ini. Bahkan digedung DPR, gedung negara untuk memecahkan masalah negara masih ada yang membentuk kubu, fraksi, poros. Yang begini pastilah akan berorientasi pada kepentingan kelompoknya, bukan kepentingan rakyat pada umumnya. Ini menunjukkan belum membudayanya pemikiran diatas bagi kebanyakan orang dan para pejabatnya.
Tanpa pengertian yang menyeluruh dan membudaya, dibangsa ini kita akan sukar untuk berubah.
Oleh karena itu untuk bersatu, aman, makmur dan maju tidak ada pilihan lain daripada mengembangkan prinsip ini dalam system yang kuat, dilaksanakan dengan kepimpinan yang bersih serta dijaga oleh aparat yang tangguh.
1.4 Pendapat Tentang Berpikir Rasional
Saya, sampai saat ini, masih saja meragukan kegiatan berpikir yang dilakukan. Keragu-raguan itu terkait dengan pertanyaan seberapa rasionalkah kegiatan berpikir saya? Tentu saja, menurut saya, berpikir secara rasional atau tidak rasional tidak bisa dibedakan seperti hitam atau putih, tetapi ada gradasinya. Dalam penerimaan akan rasionalitas, maka gradasi yang dimaksudkan adalah kegiatan berpikir dapat dilakukan dari sangat tidak rasional sampai pada sangat rasional. Pada satu titik, saya merasa bahwa apa yang dipikirkan kurang rasional, tetapi pada titik yang lain, saya merasa bahwa apa yang dipikirkan itu cukup atau sangat rasional sehingga layak dinyatakan kepada orang lain.
Bagaimana saya sendiri bisa mengetahui bahwa apa yang dipikirkan itu sangat tidak rasional atau kurang rasional atau cukup rasional atau sangat rasional? Berpikir rasional bagi saya adalah suatu keharusan bagi semua manusia. Dengan kemampuan kerja otak sedemikian rupa, maka hal itu adalah suatu keharusan tak terbantahkan.
Bagi sementara orang, ketika suatu pemikiran dikatakan sangat rasional, maka sesungguhnya pemikiran itu juga sangat filosofis. Tentu saja saya sangat mendukung pendapat ini, walaupun masih banyak orang yang menganggap bahwa esensi filsafat adalah tentang ide-ide atau teori-teori tentang hakekat alam semesta dan tempat manusia di dalamnya. Hal itu tidaklah salah, seratus persen benar, namun ide-ide dan teori-teori seperti itu selalu dimulai dari argumen-argumen yang rasional, yang starting pointnya adalah premis-premis yang dapat diterima dan tak terbantahkan.
Pada titik itu, pemikiran filosofis kemudian mesti memayungi seluruh upaya berpikir manusia, termasuk pemikiran religius yang starting pointnya adalah spekulasi-spekulasi tentang hal-hal yang sakral dan transenden. Selain itu, tradisi pemikiran Barat pun sarat dengan ide tentang berpikir rasional, tidak rasional atau anti-rasional sementara tradisi pemikiran Timur, Afrika, Pribumi Amerika dan masyarakat-masyarakat tradisional lainnya kurang memperhatikan hal itu, walaupun tetap ada penjelasan-penjelasan tentang klaim-klaim yang mereka bangun.
Tentu saja, saya tidak hendak mengatakan bahwa filsafat adalah satu-satunya disiplin yang mengharuskan seluruh manusia yang punya kemampuan berpikir untuk berpikir secara rasional. Namun untuk menjadi bagian dari barisan para pemikir secara filosofis, maka syaratnya adalah terus menerus melatih diri untuk berpikir secara rasional. Filsafat memiliki seperangkat alat untuk digunakan dalam latihan itu. Seperti sepak bola, semakin melatih kemampuan dribbling, semakin baik melakukannya dalam pertandingan yang sebenarnya. Salah satu kegiatan yang paling sering dilakukan oleh seseorang yang rasional adalah berargumentasi. Melatih kemampuan berargumentasi dengan berangkat dari premis-premis yang telah diterima dan berujung pada konklusi adalah hal yang tak bisa ditawar lagi.
Jadi, mari kita mulai melatih diri untuk berpikir rasional.
B. Bepikir Benar
1.1 Berpikir Positif
Berpikir positif erat kaitannya dengan berpikir benar. Kedua-duanya penting bagi kehidupan. Pikiran positif adalah pikiran yang dapat membangun dan memperkuat kepribadian atau karakter. Ini juga berarti bahwa kita bisa menjadi pribadi yang lebih matang, lebih berani menghadapi tantangan, dan melakukan hal-hal yang hebat. Pikiran positif tak akan membuat kita berhenti karena keterbatasan atau kelemahan kita, namun pikiran positif justru akan membuat kita mencari kekuatan kita hari demi hari.
Pascal pernah mengutarakan kalimat-kalimat bijak, yang kira-kira bunyinya seperti ini:
“Pikiran positif datang dari kepercayaan, pikiran negatif datang dari keragu-raguan; rasa takut yang benar adalah rasa takut yang digabungkan dengan harapan, karena itu lahir dari kepercayaan, serta kita berharap pada Tuhan yang kita yakini; sementara rasa takut yang salah digabungkan dengan keputusasaan, karena kita takut pada Tuhan; beberapa orang takut kehilangan-Nya, sementara yang lain takut mencarinya.”
Jadi, kita tak perlu ragu-ragu akan kemampuan kita. Kita harus percaya pada kemampuan kita. Harga diri yang kita miliki seharusnya bisa membuat kita kuat dan terus bersikap positif. Kita juga seharusnya tak pantas untuk menjadikan ‘membuat alasan’ sebagai kebiasaan kita. Sikap seperti ini tak akan bisa membuat kita menjadi pemenang dalam kehidupan ini. Sikap seperti inilah yang akan membunuh ambisi, melemahkan kemauan, dan membahayakan diri kita sendiri.
Orang-orang yang terus menerus dikelilingi oleh ketakutan tak tahu betapa banyaknya pikiran-pikiran negatif yang mempengaruhi mereka tiap harinya. Mereka membatasi diri mereka sendiri dengan sugesti bahwa keterbatasan mereka menghalangi mereka untuk sukses, dan mereka juga percaya bahwa diri mereka tidak berharga. Mereka tidak berpikir bagaimana caranya agar sukses, tapi mereka justru berpikir bagaimana mereka bisa gagal.
Pernahkah Anda mendengar tentang Washington Irving? Irving adalah seorang sastrawan Amerika yang terkenal dengan karyanya yang berjudul “The Legend of Sleepy Hollow”. Suatu ketika, Washington Irving pernah diminta untuk memimpin suatu cara makan malam untuk kedatangan Charles Dickens, namun dia merasa bimbang dan yakin bahwa dirinya tak akan berhasil. Irving ditunjuk sebagai seorang pemimpin perjamuan, dan akhirnya dia menerima tugas tersebut.
Tapi, Irving terus menerus mengatakan bahwa dia takut jika dia akan gagal. Saat malam perjamuan tiba, Irving membuat pembukaan yang bagus, tapi tiba-tiba dia berhenti dan menutup pembicaraannya. Ketika dia duduk, dia berbisik pada teman di sebelahnya, “Sudah saya bilang, saya pasti gagal… dan itu baru saja terjadi!”
Cara berpikir Irving tersebut adalah alasan mengapa ia gagal. Seandainya ia berpikir bahwa dia pasti bisa, bukan pasti gagal, maka saya yakin kejadiannya tidak akan seperti itu.
Dalam membangun kebiasaan berpikir positif — dengan hanya melihat yang terbaik dalam diri Anda dan orang lain, percaya bahwa Anda mampu melakukan hal-hal besar — perlu ditekankan bahwa pikiran kita memang suatu hal yang akan menentukan keberhasilan kita. Apa yang Anda lakukan kemarin menentukan diri Anda hari ini, dan apa yang Anda lakukan hari ini akan menentukan jadi apa Anda besok.
Coba tanyakan pertanyaan berikut: Apakah Anda mendapat manfaat dari berpikir negatif? Apakah Anda ingin memikirkan sesuatu yang akan menghambat diri Anda untuk melakukan hal-hal hebat? Apakah Anda menginginkan pikiran negatif yang pasti akan membawa ketidakpuasan, kesedihan, dan kegagalan?
Jika Anda seperti saya, pasti jawaban Anda untuk semua pertanyaan tersebut adalah ‘tidak’. Namun jika Anda tidak waspada, pikiran semacam itu akan menyelundup masuk ke dalam kepala Anda. Cara yang terbaik untuk mencegahnya adalah dengan terus mengisi pikiran Anda dengan pikiran positif, dengan berpikir bahwa Anda adalah bagian dari ciptaan Tuhan yang hebat, yang punya kemungkinan tak terbatas, yang terus tumbuh baik secara mental maupun spiritual, serta terus berjalan menuju keberhasilan.
Memang sulit untuk terus berpikir positif ketika keadaan kita berlawanan dengan mimpi-mimpi kita. Namun, ketika kita membiasakan diri untuk terus berpikir positif, maka kebiasaan tersebut akan menjadi suatu daya tarik bagi kita. Pikiran baik kita lama kelamaan akan menjadi pikiran besar, sehingga kita akan bisa melakukan hal-hal yang kelihatannya mustahil.
Dalam buku digitalnya yang berjudul ”Guaranteed Success Thinking”, Jim Ewards mencontohkan bahwa kebiasaan berpikir kita bisa diibaratkan dengan bagaimana kita merawat sebuah taman. Benih tanaman adalah pikiran kita, dan bagaimana tukang kebun bekerja diibaratkan sebagai tindakan kita.
Kita, sebagai tukang kebun, harus selalu merawat benih yang ditanam dengan baik. Kita harus membersihkan taman dari kotoran, dan menyingkirkan rerumputan liar yang tumbuh. Kasus ini sama seperti pikiran, yaitu kita harus menyingkirkan hal-hal negatif yang ada dalam kepala kita. Jika kita bisa terus menjaganya, maka suatu saat nanti kita pasti akan mendapat hasil yang kita inginkan, yaitu bunga atau buah yang manis hasil dari kerja keras kita.
Oleh karena itu, Anda tak boleh meremehkan pikiran yang ada dalam kepala Anda sejak Anda bangun tidur. Pikiran positif ketika Anda mengawali hari akan dapat mengubah rasa takut menjadi keberanian. Pikiran tersebut dapat menggerakkan Anda untuk berbuat hal-hal besar.
Berpikir positif sangatlah penting diterapkan dalam hidup, karena pikiran tersebut dapat mempengaruhi Anda untuk melakukan hal-hal yang tepat. Ada banyak orang yang salah mengambil profesi atau bisnis karena mereka tidak berpikir dengan matang dan positif. Mereka tidak bisa membuat pilihan yang tepat bagi hidup mereka.
Sidney Smith pernah berkata:
“Jika kita mengibaratkan profesi dalam hidup sebagai lubang di sebuah meja, ada yang bundar, kotak, dan bujur sangkar; dan manusia sebagai potongan kayu yang bentuknya sesuai lubang tersebut, maka pada umumnya kita menemukan bahwa orang-orang yang berbentuk segitiga masuk ke dalam lubang yang kotak, yang bujur sangkar masuk ke lubang segitiga, sementara yang kotak memaksa diri untuk masuk ke lubang yang bundar.”
2.2 Berpikir Benar
Bagaimana kita berfikir, maka seperti itulah kehidupan kita. Sebagaimana segala sesuatu bisa ditebak dengan melihat wadah dan tempatnya. MARCUS AURELIUS, seorang Kaisar Romawi mengatakan, “Hidup kita dibentuk oleh pikiran kita”. Dan Rasulullah SAW pernah menasehati kita umatnya dalam sebuah sabda beliau : ”Barangsiapa yang rela maka baginya kerelaan, dan barangsiapa yang benci maka baginya kebencian”. Memang demikanlah adakalanya seseorang menerima ujian dan cobaan-Nya dengan dada sempit dan jiwa penuh kemurungan ia merasakan deritanya yang bertindih-tindih dan adapula seorang yang berlapang hati menghadapi kesulitan di hadapan langkah kakinya. Kesadaran bahwa ujian yang menimpanya hanyalah perputaran hidup yang mesti di lewati, kesabaran menjalaninya akan melahirkan kemudahan serta gugurnya dosa dan kesalahan di masa lalu, maka tidakkah kita rela menjalani kepahitan jika itu mampu dan bisa membersihkan hati dan jiwa ?
Dan akhirnya, marilah kita mencoba untuk selalu berfikir benar, memperbaharui akal dan pandangan dengan Islam yang jauh dari kesempitan, dan insya Allah akan kita jumpai sangat banyak perubahan dalam diri kita. Pergeseran terbaik dan kemajuan-kemajuan terindah yang ada kalanya kita sendiri sulit untuk mempercayainya. Tapi ini adalah jalan yang pasti dan tak akan ada sedikitpun kerugian di dalamnya
2.3 Pendidikan Berpikir Salah.
Di Sekolah (bahkan berlanjut hingga lulus), kita dibiasakan untuk berpikir sesuai benar dengan rumus atau mengikuti pola yang sudah terbukti sukses dan diterima masyarakat. Pola kegiatan ‘berpikir benar’ ini akan membentuk siklus rutin yang tidak progresif, karena membentuk kebiasaan untuk selalu menghasilkan solusi dengan cara mencari rumus atau metode yang dapat menjawab permasalahannya. Kebiasaan ini akan membentuk mentalitas aplikator (bukan ideator) yang hanya terbiasa mengaplikasikan rumus dan contoh, bukan justru membuat yang baru.
Fakta dalam dunia pendidikan memang nampaknya tidak separah generalisasi di atas. Banyak sekolah yang sudah menyuburkan pendidikan kreatif; sebuah studi yang salah satunya menganjurkan untuk berpikir salah. Tapi juga merupakan bagian dari fakta bahwa masih banyak sekolah yang mengartikan kreativitas sebagai pendidikan keterampilan (bukan kepribadian), sehingga sah saja kalau bentuk pendidikannya berupa kegiatan melukis atau teater, bahkan diposisikan sebagai ekstra kurikuler. Dengan mewujudkan kreativitas sebagai keterampilan bahkan diposisikan sebagai ekstra, maka timbul pandangan bahwa tidak semua orang harus menguasainya bahkan menghayatinya. Kesannya, kalau anda ingin jadi dokter, ahli fisika, ahli hukum, maka anda tidak perlu kreatif. Bila sudah demikian maka jangan salahkan kalau banyak sarjana yang tidak punya solusi untuk bisa eksis dan bermanfaat dalam masyarakatnya karena ia tidak kreatif. Sarjana sibuk mencari pekerjaan, karena itulah jalur benar dalam berprofesi. Ia tidak terbiasa berpikir salah dalam membentuk eksistensi, sehingga akhirnya hanya bisa reaktif bahkan pasif pada keadaan.
Salah satu cara ‘salah’ yang sebaiknya kita pikirkan adalah dengan memasukkan unsur pendidikan kreatif dalam kesetaraan dengan pendidikan moral dan etika di sekolah. Pendidikan moral berupaya membentuk prinsip benar atau salah, memaknai kebaikan atau keburukan. Tanpa pengaruh kreativitas maka moralitas kehilangan esensinya, karena kita hanya memaknai moralitas sebagai tatanan yang harus diikuti, tidak membuka skenario ‘bagaimana jika moralitas itu salah’ yang justru dapat mengungkap nilai sesungguhnya dari tatanan moral itu. Tanpa kreativitas maka tidak ada improvisasi tatanan moral, sehingga manusia bentuknya seperti robot yang kaku pada aturan, sehingga kehilangan kemampuan memaknai nilai di balik aturan itu.
2.4 Upaya Berpikir Baik dan Benar
Biasanya orang yang sedang marah atau kalap, tidak dapat berpikir secara akal sehat dan tanpa berpikir secara penalaran, sehingga dalam keadaan seperti ini akal akan dikalahkan oleh emosi yang meledak. Manusia yang marah pasti tanpa adanya kesadaran dan keseimbangan pikiran. Pada akhirnya suatu saat dia akan kecewa oleh tingkahnya sendiri.
Orang yang berbahagia dan tenteram hidupnya ialah orang yang memikirkan setiap langkahnya secara akal sehat. Dia melihat kemampuan dirinya dan selalu menarik kesimpulan dari pertimbangan-pertimbangan dengan akal sehat (rasional)
Dibawah ini merupakan suatu upaya bagaimana berpikir baik dan benar dengan melakukan cara penalaran, yang konon bisa dipelajari :
Harus berpikir secara kritis, hal ini dilakukan agar apabila ada sesuatu keterangan yang tidak atau belum pasti hendaknya jangan dipercaya begitu saja.
Sebelum bertindak sebaiknya harus berpikir lebih dahulu untuk beberapa saat (konsentrasi).
Pandangan harus lebih luas daripada pikiran kita sendiri, sehingga harus waspada terhadap prasangka-prasangka sendiri. Jangan menganggap benar apa yang kita sukai dan menolak apa yang kita benci.
Berpikir dua kali dan jangan gegabah mengambil keputusan atau mengemukakan pendapat seakan-akan kebenaran mutlak/terlalu berani tanpa perhitungan.
Bersikap terbuka, mungkin pendapat kita dibenarkan/dikoreksi atau ditinggalkan sama sekali atas dasar informasi yang benar.
Hendaknya kita berpikir dalam jangka panjang dan berpandangan luas.
Kita harus bersikap kritis terhadap apa yang dikemukakan oleh orang lain, untuk check and recheck juga terhadap pendapat sendiri.
Kita wajib bersikap optimis, mencari segi-segi positif dalam segala hal dan berdiskusi juga dalam hal berpikir, serta bersikap simpatik terhadap orang lain.
Harus bertaqwa, karena taqwa itu sendiri adalah merupakan sumber kejujuran. Dengan bertaqwa tentunya akan diikuti oleh kewibawaan.
Bersikap jujur, orang banyak belajar dari kesalahannya sendiri, asal disadari dan diakuinya.
Harus belajar terus-menerus
Bekerja dengan hatinurani yang tulus dan berpikir secara teratur dan berencana, agar mampu tampil secara profesional.
2.5 Analogi Lampu Lalu Lintas
Tanpa pengaruh kreativitas dalam moral dan etika, orang hanya patuh pada norma, tapi tidak memahami nilainya. Orang hanya patuh pada lampu lalu lintas, tapi tidak mengerti nilai kedisiplinan dan keselamatan. Maka ketika lampu di perempatan itu hijau, maka ia segera maju, tidak peduli bahwa salah satu jalurnya masih macet, juga tidak mau mempertimbangkan nilai bahwa kalau ia maju maka akan memperparah kemacetan. Ia yakin benar bahwa lampu hijau itu benar. Ia tidak punya alternatif berpikir bahwa lampu hijau itu salah.
Analogi ini juga berlaku untuk orang yang meyakini bahwa apabila ia melakukan hal yang juga dilakukan oleh orang lain di lingkungannya, itu adalah hal yang benar. Kalau sudah demikian maka jangan disalahkan kalau banyak orang korupsi. Tapi jangan salah menilai; Korupsi sudah pasti bukan produk dari berpikir salah, karena itu sudah ada rumusnya: kalau ingin cepat kaya maka cara termudah adalah korupsi. Mereka yang tidak ingin korupsi pastilah ada yang salah dalam cara berpikirnya.
2.6 Muara Berpikir Salah
Berpikir salah bukan maksudnya berpikir asal-asalan yang penting salah, atau dilandasi semangat memberontak tanpa alasan, yang sudah pasti benar-benar tidak berguna. Berpikir salah dimaksudkan untuk menyuburkan ide, memperkaya kemungkinan, memotivasi untuk berani berimajinasi dan berpikir sungguh-sungguh dengan semangat membentuk nilai baru yang lebih bermanfaat dan kaya kualitas etika. Berpikir salah bukan dalam maksud memberanikan orang untuk melanggar lampu merah.
Berpikir salah sudah pasti memerlukan referensi dan pemetaan dari berpikir benar, sehingga sifatnya bukan mengulang dari nol atau mengesampingkan progres yang dapat membuatnya menjadi kegiatan yang tidak efisien dan kontra produktif. Studi berpikir salah akan baik untuk ditanamkan sebagai prinsip penyeimbang ilmu pasti dan akan berguna bila disuburkan dalam kegiatan produksi ide.
1. Contoh Kasus
Berpikir Rasional
Hebohnya berita dukun cilik ponari yang didatangi ribuan warga karena bias dianggap bias menyembuhkan segalam macam penyakit adalah bagian dari gambaran mentalitas budaya bangsa Indonesia. Fenomena dukun cilik Ponari mencerminkan mantalitas budaya bangsa Indonesia. Fenomena dukun cilik Ponari mencerminkan mentalitas budaya mistis yang disebut dengan mentalitas ideasional.
Masyarakat dengan mentalitas budaya ideasional, cenderung kurang berpikir rasional. Masyarakat ideasional, selalu berharap dapat menyelesaikan masalah dengan cara-cara ajaib, dan cepat seperti sulap seperti dalam cerita-cerita film Aladin. Masyarakat ideasional, selalu berharap dapat menyelesaikan maslah dengan cara-cara ajaib, dan cepat seperti sulap seperti dalam cerita-cerita film Aladin. Masyarakat ideasional sangat percaya bahwa pada benda-benda keramat, ada keajaiban yang dapat memenuhi segala keinginan. Akibatnya, tindakan-tindakan masyarakat ideasional sangat percaya bahwa pada benda-benda keramat, ada keajaiban yang dapat memenuhi segala keinginan. Akibatnya, tindakan-tindakan masyarakat ideasional, kurang dimengerti dan dipahami oleh akal sehat.
Dilihat dari mentalitas budaya rasional, fenomena tindakan-tindakan masyarakat seperti kasus Ponari, bisa dilihat sebagai sebagai tindakan-tindakan “bodoh” masyarakat yang kurang memperhitungkan pola-pola pikir rasional. Tetapi itulah realitasnya, bahwa mnasyarakat ideasional sangat mempercayai keajaiban-keajaiban sampai menghilangkanpotensi-potensi pikran rasionalnya. Untuk itulah realitasnya, bahwa masyarakat ideasional dalam kasus tertentu mudah sekali terkena tipu daya. Seperti kita ketahui, pernah terjadi penipuan dalam kasus-kasus berbau mistik seperti penggnadaan uang, hipnotis, dan praktek-praktek dukun cabul.
Berpikir Benar
Pagi ini, saya berangkat kerja pada jam yang sama seperti hari-hari biasanya. Tapi di tengah jalan saya terjebak macet tidak seperti biasanya. Saya tidak bisa melihat di depan ada apa pastinya, tapi kalau tidak salah mungkin ada acara karnaval anak-anak TK daerah situ.
Tetap disitu, saya akan tetap terjebak macet. Akhirnya saya memilih jalan yang lain, memutar, dengan harapan saya bisa lolos dari kemacetan tersebut. Tapi dasar apes, di rute kedua itu saya malah terjebak kemacetan yang lebih parah dari jalan yang pertama. Alhasil, saya terlambat tiba di kantor.
Apa pilihan saya salah?
Bila langsung melihat hasilnya, tentu anda akan mengatakan saya tolol. Lha wong di rute kedua lebih macet kenapa milih jalan tersebut? Lebih baik kan tetap di rute pertama?
Hehe, sayangnya dalam hidup kita tak pernah bisa langsung tahu hasilnya sebelum dilakukan. Diprediksi mungkin bisa, tapi tak menjamin keakuratannya. Dalam kasus saya di atas, saya tidak menyesal dengan pilihan saya untuk melalui rute kedua. Karena pilihan saya yang salah berdasar pemikiran saya yang benar. Saya berpikir seperti ini;
Bila saya tetap berada di jalan pertama, sudah pasti saya akan terjebak macet. Mungkin 10 menit, atau bisa jadi lebih.
Bila saya mencoba alternatif lain, yaitu rute kedua, saya mungkin akan terjebak lebih parah lagi, tapi tentu ada kemungkinan sebaliknya. Mungkin saya bisa lolos dari kemacetan.
Ini yang saya sebut dengan “berpikir benar”. Dan bagi saya, lebih baik memilih salah karena berpikir benar daripada pilihan benar karena berpikir salah.
Salah satu faktor yang kurang dieksplorasi dalam dunia pendidikan kita adalah keberanian untuk berpikir salah. Dari Sekolah Dasar hingga tingkat Tinggi, aktivitas belajar kita didominasi oleh anjuran untuk selalu berpikir benar, boleh berpikir beda tetapi kalau salah akan seringkali diganjar dengan nilai buruk dan dilecehkan dalam pergaulan karena dianggap tidak intelek. Kita jadi trauma berpikir salah.
Berpikir Benar dan Rasional (Video)
Video ini berjudul Think (Berpikir), menggambarkan betapa pentingnya berpikir. Digambarkan ada seorang individu (sebut saja A) yang bingung mencari tahu, bagaimana caranya melampaui suatu lubang di tembok, yang menghubungkan dengan dunia lain di luar sana. Ketika dia sedang bingung hadirlah orang-orang yang datang menawarkan kebenaran. Ikuti saya ! Kata mereka. Faith (Kepercayaan), membawa A menuju tempat peribadatan, mengajari A, untuk beribadah. Namun A pergi, bukan itu yang dia cari.
Politic (Politik), setelah A pergi dari Faith, lalau dia melihat kerumunan Politik, dia tertarik dan mendekat ke kerumunnan tersebut. Lalu ingin bergabung, namun mengurungkan niatnya melihat symbol Dollar (Uang) pada pimpinan Politic, yang berbau materialism.
Fight (Perjuangan), bertemulah A dengan fight. Namun Akhirnya pergi, setelah melihat symbol senjata, kekuatan yang seolah-olah menjunjung tinggi kekuasaan.
Usai, perjalanannya A bertemu orang-orang tersebut lalu, kembalilah A, ke tempat semula, di depan lubang tembok tadi, sambil melanjutkan mencorat-coret, mencari tahu cara masuk ke dalam lubang tembok tersebut. Tak lama kemudian, datang Faith, Politic, dan Fight dengan pengikutnya masing-masing yang kemudian mencoba masuk ke dalam lubang dengan cara masing-masing, yakin caranya sendiri yang paling benar. Namun tidak ada yang berhasil. Lalu A berpikir (THINK), dan menemukan caranya sendiri lalu berhasil masuk dan melewati lubang tersebut, menemukan dunia baru di luar sana yang ternyata lebih indah. Itulah Reality ( Kenyataan ).
Pesan yang disampaikan:
Seseorang kadang bingung dengan memecahkan masalah/ memutuskan sesuatu, kemudian kerap mengikuti cara/ajakan orang lain untuk menyelesaikan semua itu. Namun ternyata apa yang dia ikuti tidak selamanya cocok dan benar adanya. Sampai pada akhirnya seseorang tersebut tersadar, dan berpikir (THINK) lalu dia akan mampu menyelesaikan semua.
Berpikir Benar dan
Rasional diperlukan dalam kehidupan. Berpikir rasional diperlukan untuk
menghadapi dan memecahkan permasalahan yang kita hadapi sehari-hari.
Dampak dari keyakinan dan perilaku yang tidak rasional tersebut adalah
bahwa perilaku kita tidak efektif dalam mengerjakan dan menyelesaikan
masalah yang kita hadapi.
Berfikir
rasional dipakai bila kita ingin maju, ingin mempelajari ilmu. Juga
amat perlu bila kita bekerja untuk kepentingan orang banyak dan juga
kepentingan kita pribadi. Berpikir benar juga penting terutama untuk
menciptakan kreator-kreator ide baru, yang bermanfaat bagi kehidupan.
Ketika kita berfikir benar maka kemungkinan besar realita yang terjadi
akan seperti yang kita fikirkan. Jadi, mari kita mulai melatih diri
untuk berpikir rasional dan benar agar kita tidak salah dalam bertingkah
laku.
Epistemologi : Ilmu Pengetahuan
JUSTIFIKASI EPISTEMOLOGI
A. Evidensi
Evidensi adalah ‘cara bagaimana ada atau kenyataan hadir bagi saya’ atau ‘perwujudan dari ada bagi akal’. Konsekuensi dari pengertian itu adalah bahwa evidensi sangatlah bervariasi. Akibat lebih lanjut adalah persetujuan yang dijamin oleh kehadiran ada yang bervariasi ini juga akan bervariasi pula.
Seorang positivis mungkin menyatakan pengandaian bahwa masa depan adalah mirip dengan masa lampau. Namun evidensi yang menjamin kepastiannya bukanlah kepastian yang sedemikian rupa sehingga kejadian sebaliknya tidak terbayangkan.
Evidensi dari perilaku manusia tentu berbeda dengan hal yang semata-mata bersifat fisik, sebab kepastian manusiawi adalah bersifat hipotesis. Missal : saya yakin secara moral bahwa apabila supir bus itu normal maka ia tidak akan menabrakkan mobilnya ke pohon.
Kesaksian adalah salah satu sumber dari keyakinan moral kepastiannya agak diremehkan. Namun banyak orang yang lebih yakin pada pernyataan-pernyataan yang bersumber dari kesaksian daripada tentang hukum gravitasi.
A. Evidensi
Evidensi adalah ‘cara bagaimana ada atau kenyataan hadir bagi saya’ atau ‘perwujudan dari ada bagi akal’. Konsekuensi dari pengertian itu adalah bahwa evidensi sangatlah bervariasi. Akibat lebih lanjut adalah persetujuan yang dijamin oleh kehadiran ada yang bervariasi ini juga akan bervariasi pula.
Seorang positivis mungkin menyatakan pengandaian bahwa masa depan adalah mirip dengan masa lampau. Namun evidensi yang menjamin kepastiannya bukanlah kepastian yang sedemikian rupa sehingga kejadian sebaliknya tidak terbayangkan.
Evidensi dari perilaku manusia tentu berbeda dengan hal yang semata-mata bersifat fisik, sebab kepastian manusiawi adalah bersifat hipotesis. Missal : saya yakin secara moral bahwa apabila supir bus itu normal maka ia tidak akan menabrakkan mobilnya ke pohon.
Kesaksian adalah salah satu sumber dari keyakinan moral kepastiannya agak diremehkan. Namun banyak orang yang lebih yakin pada pernyataan-pernyataan yang bersumber dari kesaksian daripada tentang hukum gravitasi.
B. Kepastian
Kepastian dasar ini memuat kebenaran dasar atau disebut sebagai kebenaran-kebenaran primer. Prinsip pertama adalah suatu “kepastian dasar yang mengungkapkan eksistensi subjek”. Subjek yang mengetahui tidak mesti identik dengan kegiatannya, ada perbedaan subjek dan aktivitasnya. Adanya kesadaran akan mandirinya subjek dan manunggalnya dengan aktivitasnya adalah penting, sebab ada beberapa aliran yang mengatakan bahwa pakarti adalah bundle of actions, aliran ini memposisikan pakarti merupakan aksidensi dan bukan substansi.
Kepastian dasar ini tidak saja merupakan jawaban yang mendasar terhadap berbagai macam sikap dan ajaran seperti Skeptisisme dan Relatvisme, tetapi karena kepastian dasar merupakan dasarnya segala kepastian.
Kepastian dasar ini memuat kebenaran dasar atau disebut sebagai kebenaran-kebenaran primer. Prinsip pertama adalah suatu “kepastian dasar yang mengungkapkan eksistensi subjek”. Subjek yang mengetahui tidak mesti identik dengan kegiatannya, ada perbedaan subjek dan aktivitasnya. Adanya kesadaran akan mandirinya subjek dan manunggalnya dengan aktivitasnya adalah penting, sebab ada beberapa aliran yang mengatakan bahwa pakarti adalah bundle of actions, aliran ini memposisikan pakarti merupakan aksidensi dan bukan substansi.
Kepastian dasar ini tidak saja merupakan jawaban yang mendasar terhadap berbagai macam sikap dan ajaran seperti Skeptisisme dan Relatvisme, tetapi karena kepastian dasar merupakan dasarnya segala kepastian.
C. Keraguan
Ada dua bentuk aliran yang mempertanbyakan kepastian mengenai adanya kebenaran. Keduanya dapat dianggap sebagai aliran yang memasalahkan, meragukan, dan mempertanyakan kebenaran dan adanya kebenaran.
Pertama, aliran Skeptisisme-Doktriner berkeyakinan bahwa pengetahuan dan kebenaran itu tidak ada, yang kurang ekstrem mengatakan sesungguhnya tidak ada cara untuk mengetahui bahwa kita mempunyai pengetahuan. Missal : ajaran ini menganjurkan orang untuk tidak melibatkan diri dalam kegiatan intelektual untuk mempunyai pendapat tentang sesuatu, maka di dalamnya mengandung kontradiksi, sebab ajaran untuk tidak melibatkan diri secara intelektual adalah sudah merupakan kegiatan intelektual.
Kedua, aliran Skepetisisme-Metodik menyatakan bahwa pengetahuan dan kebenaran ada tetapi tidak sebagai doktrin, melainkan sebagai metoda untuk menemukan kebenaran dan kepastian. Aliran ini merupakan jalan untuk menemukan kepastian kebenaran.
Ada dua bentuk aliran yang mempertanbyakan kepastian mengenai adanya kebenaran. Keduanya dapat dianggap sebagai aliran yang memasalahkan, meragukan, dan mempertanyakan kebenaran dan adanya kebenaran.
Pertama, aliran Skeptisisme-Doktriner berkeyakinan bahwa pengetahuan dan kebenaran itu tidak ada, yang kurang ekstrem mengatakan sesungguhnya tidak ada cara untuk mengetahui bahwa kita mempunyai pengetahuan. Missal : ajaran ini menganjurkan orang untuk tidak melibatkan diri dalam kegiatan intelektual untuk mempunyai pendapat tentang sesuatu, maka di dalamnya mengandung kontradiksi, sebab ajaran untuk tidak melibatkan diri secara intelektual adalah sudah merupakan kegiatan intelektual.
Kedua, aliran Skepetisisme-Metodik menyatakan bahwa pengetahuan dan kebenaran ada tetapi tidak sebagai doktrin, melainkan sebagai metoda untuk menemukan kebenaran dan kepastian. Aliran ini merupakan jalan untuk menemukan kepastian kebenaran.
PENGETAHUAN
A. Teori Pengetahuan
Epistemologi juga dinamakan ‘teori pengatahuan’ (theory of knowledge), ialah suatu ilmu yang mula-mula menanyakan, “Apakah pengetahuan?”. Hal itu meliputi banyak pertanyaan lainnya, seperti: “Apakah kebenaran?”, “Apakah kepastian?” dan lawannya, seperti: “Apakah ketidaktahuan?”, “Apakah kesalahan?”, “Apakah keraguan?”. Masing-masing pertanyaan masih meliputi yang lainnya, seperti: “Apakah kesadaran?”, “Apakah sadar?”, “Apakah intuisi?”, “Apakah penyimpulan?”, “Apakah sensasi, persepsi, konsepsi, memory, imajinasi, antisipasi, berpikir, budi, kehendak, frustasi, mempertanyakan, pemecahan masalah, perasaan, emosi, interest, kegunaan, bahasa, komunikasi, bermimpi, persetujuan, mengidealisasi, menyukai, tidak menyukai, menghendaki, mengharapkan, takut, kepuasan hati, dan apati?”.
Sebagai hasil penyelidikan lebih dalam kedalam pertanyaan-pertanyaan di depan (Bahm, 1995:1). Epistemology merupakan suatu bagian, bahkan bagian yang mempunyai kedudukan sentral dalam keseluruhan sistem filsafat yang ada, dan di lain pihak seharusnya sebagai suate sistem tersendiri.
A. Teori Pengetahuan
Epistemologi juga dinamakan ‘teori pengatahuan’ (theory of knowledge), ialah suatu ilmu yang mula-mula menanyakan, “Apakah pengetahuan?”. Hal itu meliputi banyak pertanyaan lainnya, seperti: “Apakah kebenaran?”, “Apakah kepastian?” dan lawannya, seperti: “Apakah ketidaktahuan?”, “Apakah kesalahan?”, “Apakah keraguan?”. Masing-masing pertanyaan masih meliputi yang lainnya, seperti: “Apakah kesadaran?”, “Apakah sadar?”, “Apakah intuisi?”, “Apakah penyimpulan?”, “Apakah sensasi, persepsi, konsepsi, memory, imajinasi, antisipasi, berpikir, budi, kehendak, frustasi, mempertanyakan, pemecahan masalah, perasaan, emosi, interest, kegunaan, bahasa, komunikasi, bermimpi, persetujuan, mengidealisasi, menyukai, tidak menyukai, menghendaki, mengharapkan, takut, kepuasan hati, dan apati?”.
Sebagai hasil penyelidikan lebih dalam kedalam pertanyaan-pertanyaan di depan (Bahm, 1995:1). Epistemology merupakan suatu bagian, bahkan bagian yang mempunyai kedudukan sentral dalam keseluruhan sistem filsafat yang ada, dan di lain pihak seharusnya sebagai suate sistem tersendiri.
B. Pengertian Pengetahuan
Jawaban klasik atau tradisional sebagaimana diutarakan dalam dialog Plato Theaetetus bahwa pengetahuan merupakan kepercayaan benar yang terjastifikasi atau eviden, knowledge is evident true belief. Menurut konsepsi pengetahuan tersebut ada tiga kondisi yang harus dicapai bila seseorang mengetahui proposisi menjadi benar. Pertama, proposisi itu benar; kedua, seseorang menerima itu; dan ketiga, proposisi itu sesuatu yang eviden untuk orang itu.
Pengetahuan adalah suatu istilah yang dipergunakan bila seseorang mengetahui tentang sesuatu. Sesuatu hal yang menjadi pengetahuannya adalah selalu terdiri dari unsure yang mengetahui dan yang diketahui serta kesadaran yang mengenai hal-hal yang ingin diketahuinya itu (Abbas H., 1983:8-9).
Beberapa epistemology mengatakan bahwa pengetahuan adalah suatu persatuan subjek dengan objek; dengan mengetahui, subjek menjadi manunggal dengan objek dan objek manunggal dengan subjek.
Jawaban klasik atau tradisional sebagaimana diutarakan dalam dialog Plato Theaetetus bahwa pengetahuan merupakan kepercayaan benar yang terjastifikasi atau eviden, knowledge is evident true belief. Menurut konsepsi pengetahuan tersebut ada tiga kondisi yang harus dicapai bila seseorang mengetahui proposisi menjadi benar. Pertama, proposisi itu benar; kedua, seseorang menerima itu; dan ketiga, proposisi itu sesuatu yang eviden untuk orang itu.
Pengetahuan adalah suatu istilah yang dipergunakan bila seseorang mengetahui tentang sesuatu. Sesuatu hal yang menjadi pengetahuannya adalah selalu terdiri dari unsure yang mengetahui dan yang diketahui serta kesadaran yang mengenai hal-hal yang ingin diketahuinya itu (Abbas H., 1983:8-9).
Beberapa epistemology mengatakan bahwa pengetahuan adalah suatu persatuan subjek dengan objek; dengan mengetahui, subjek menjadi manunggal dengan objek dan objek manunggal dengan subjek.
C. Terjadinya Pengetahuan
Banyaknya definisi tentang terjadinya pengetahuan pada manusia disebabkan banyaknya paham yang berusaha untuk ikut memecahkannya. Abbas dalam bukunya ‘Epistemologi’ (1983:26) mengemukakan bahwa ‘situasi’ adalah menjadi titik tolak perbuatan mengetahui. Bila pengetahuan adalah hasil perbuatan dasar untuk mengenal yang diarahkan kepada suatu isi maupun kenyataan yang bersifat pasif,maka perbuatan mengenal yang aktif tidak hanya disebabkan oleh kita sendiri melainkn lagu objek yang merangsang ialah kenyataan (fact).
Banyaknya definisi tentang terjadinya pengetahuan pada manusia disebabkan banyaknya paham yang berusaha untuk ikut memecahkannya. Abbas dalam bukunya ‘Epistemologi’ (1983:26) mengemukakan bahwa ‘situasi’ adalah menjadi titik tolak perbuatan mengetahui. Bila pengetahuan adalah hasil perbuatan dasar untuk mengenal yang diarahkan kepada suatu isi maupun kenyataan yang bersifat pasif,maka perbuatan mengenal yang aktif tidak hanya disebabkan oleh kita sendiri melainkn lagu objek yang merangsang ialah kenyataan (fact).
KEBENARAN PENGETAHUAN
A. Arti Kebenaran Pengetahuan
Kebenaran merupakan tema pokok dalam epistemology. Kebenaran adalah tujuan dari orang dalam mencari pengetahuan. Dalam berhubungan dengan berpengetahuan, masyarakat masih berorientasi dalam lingkup pragmatic, sehingga tidak ada pendalaman yang mendasar tentangnya.
Pengetahuan adalah hasil dari kemanunggalan antara subjek dan objek. Maka pengetahuan di katakan benar apabila dalam kemanmuggalan yang sifatnya intrinsic, intensional, pasif-aktif itu terdapat kesesuaian antara apa yang ada di dalam pengetahuan subjek dan apa yang dalam kenyataannya ada terdapat dalam subjek.
Kebenaran epistemologis adalah selalu kebenaran dalam kaitannya dengan pengetahuan manusia, bahkan pengetahuan seorang manusia. Maka itu selalu bersifat subjektif, terbatas, evolutif, relasional, diskursif, sesuai dengan hakikat manusia yang adalah makhluk yang terbatas, relative, dan mengalami perubahan, berada dalam lingkup ruang dan waktu, dan menyejarah. Contoh : pengetahuan manusia berkembang coomon sense menjadi pengetahuan ilmiah.
A. Arti Kebenaran Pengetahuan
Kebenaran merupakan tema pokok dalam epistemology. Kebenaran adalah tujuan dari orang dalam mencari pengetahuan. Dalam berhubungan dengan berpengetahuan, masyarakat masih berorientasi dalam lingkup pragmatic, sehingga tidak ada pendalaman yang mendasar tentangnya.
Pengetahuan adalah hasil dari kemanunggalan antara subjek dan objek. Maka pengetahuan di katakan benar apabila dalam kemanmuggalan yang sifatnya intrinsic, intensional, pasif-aktif itu terdapat kesesuaian antara apa yang ada di dalam pengetahuan subjek dan apa yang dalam kenyataannya ada terdapat dalam subjek.
Kebenaran epistemologis adalah selalu kebenaran dalam kaitannya dengan pengetahuan manusia, bahkan pengetahuan seorang manusia. Maka itu selalu bersifat subjektif, terbatas, evolutif, relasional, diskursif, sesuai dengan hakikat manusia yang adalah makhluk yang terbatas, relative, dan mengalami perubahan, berada dalam lingkup ruang dan waktu, dan menyejarah. Contoh : pengetahuan manusia berkembang coomon sense menjadi pengetahuan ilmiah.
B. Teori-Teori Kebenaran
Dalam mencari kebenaran, manusia menggunakan berbagai cara, dengan akal (rasio), intuisi (gerak hati) dan dzauq (perasaan). Selain itu juga terdapat teori-teori kebenaran, antara lain :
1. Teori Korespondensi
The Correspondence Theory of Truth (The Accordance Theory of Truth) menyatakan bahwa kebenaran / keadaan benar itu merupakan kesesuaian antara arti yang dimaksud oleh suatu pendapat dengan apa yang sungguh-sungguh merupakan halnya atau fakta-faktanya. Kebenaran ialah sesuatu yang bersesuaian dengan fakta, yang berselaras dengan realitas yang sesuai dengan situasi actual.
2. Teori Pragmatis
The Pragmatic Theory of the Truth beranggapan bahwa benar atau tidaknya suatu ungkapan, dalil atau teori semata-mata bergantung kepada berfaedah atau tidaknya ungkapan, dalil atau teori tersebut bagi manusia untuk bertindak dalam kehidupannya. Kebenaran ialah apa saja yang berlaku. Bagi kaum pragmatis, bahwa batu ujian kebenaran ialah kegunaan (utility), dapat dikerjakan (workability), dan akibat / pengaruhnya yang memuaskan (satisfactory consequences).
Dalam mencari kebenaran, manusia menggunakan berbagai cara, dengan akal (rasio), intuisi (gerak hati) dan dzauq (perasaan). Selain itu juga terdapat teori-teori kebenaran, antara lain :
1. Teori Korespondensi
The Correspondence Theory of Truth (The Accordance Theory of Truth) menyatakan bahwa kebenaran / keadaan benar itu merupakan kesesuaian antara arti yang dimaksud oleh suatu pendapat dengan apa yang sungguh-sungguh merupakan halnya atau fakta-faktanya. Kebenaran ialah sesuatu yang bersesuaian dengan fakta, yang berselaras dengan realitas yang sesuai dengan situasi actual.
2. Teori Pragmatis
The Pragmatic Theory of the Truth beranggapan bahwa benar atau tidaknya suatu ungkapan, dalil atau teori semata-mata bergantung kepada berfaedah atau tidaknya ungkapan, dalil atau teori tersebut bagi manusia untuk bertindak dalam kehidupannya. Kebenaran ialah apa saja yang berlaku. Bagi kaum pragmatis, bahwa batu ujian kebenaran ialah kegunaan (utility), dapat dikerjakan (workability), dan akibat / pengaruhnya yang memuaskan (satisfactory consequences).
3. Teori Konsistensi
The Consistency Theory of the truth atau the Coherence theory of the truth, kebenaran tidak dibentuk atas hubungan antara putusan dengan sesuatu yang lain, yaitu fakta dan realitas akan tetapi atas hubungan antara putusan-putusan itu sendiri. Sesuatu proposisi itu cenderung untuk benar jika proposisi itu coherent (saling hubungan) dengan lain-lain proposisi yang benar atau jika yang dikandung oleh proporsisi itu coherent dengan pengalaman kita. Olleh karena itu menurut teori ini bahwa putusan diaqnggap benar jika berhubungan dengan putusan lain yang saling berhubungan dan saling menerangkan. Atau dengan kata lain “saling hubungan yang sistematik.”
The Consistency Theory of the truth atau the Coherence theory of the truth, kebenaran tidak dibentuk atas hubungan antara putusan dengan sesuatu yang lain, yaitu fakta dan realitas akan tetapi atas hubungan antara putusan-putusan itu sendiri. Sesuatu proposisi itu cenderung untuk benar jika proposisi itu coherent (saling hubungan) dengan lain-lain proposisi yang benar atau jika yang dikandung oleh proporsisi itu coherent dengan pengalaman kita. Olleh karena itu menurut teori ini bahwa putusan diaqnggap benar jika berhubungan dengan putusan lain yang saling berhubungan dan saling menerangkan. Atau dengan kata lain “saling hubungan yang sistematik.”
C. Kriteria Kebenaran Epistemologi
Ilmu pengetahuan yang paling utama membicarakan berbagai macam criteria kebenaran, dalam hal ini terdiri atas dua jenis-jenis kebenaran sebagai berikut :
1. Kebenaran absolute, yaitu kebenaran mutlak. Cirri kebenaran mutlak adalah kebenaran yang benar dengan sendirinya, tidak berubah-ubah, dan tidak membutuhkan pengakuan dari siapa pun supaya menjadi benar. Kebenaran mutlak berlaku bagi Dzat Pencipta Kebenaran, yaitu Tuhan.
2. Kebenaran relative, merupakan kebenaran yang berubah-ubah. Semua hasil pengetahuan dinyatakan benar, apalagi kebenaran tersebut mempunyai alasan yang logis.
3. Kebenaran spekulatif, yaitu kebenaran yang menjadi cirri khas filsafat. Kebenaran ini bersifat “kebetulan” dengan landasan rasional dan logis.
4. Kebenaran korespondensi, kebenaran yang bertumpu pada realitas objektif. kriteria kebenaran korespondensi dicirikan oleh adanya relevansi pernyataan dan kenyataan, antara teori dan praktik.
5. Kebenaran pragmatis, kebenaran yang diukur oleh adanya manfaat suatu pengetahuan bagi kehidupan manusia, baik sebagai individu maupun kelompok. Pegangan pragmatis adalah logika pengamatan.
6. Kebenaran normative, yaitu kebenaran yang di dasarkan pada sistem social yang sudah baku. Misalnya, kebenaran karena tuntutan adat kebiasaan atau kesepakatan social yang telah lama berlaku dalam kehidupan cultural masyarakat bersangkutan.
7. Kebenaran religius, yaitu kebenaran yang di dasarkan kepada ajaran dan nilai-nilai dalam agama. Kebenaran diperoleh bukan hanya oleh penafsiran ajaran secara rasio, melainkan didasarkan pada keimanan kepada ajaran yang dimaksudkan.
8. Kebenaran filosofis, ialah kebenaran terhadap hasil perenungan dan pemikiran refleksi ahli filsafat yang disebut hakikat atau the nature, meskipun subjektif, tampak mendalam karena melalui penghayatan eksistensial bukan hanya pengalaman dan pemikiran intelektual semata.
9. Kebenaran estesis, adalah kebenaran yang didasarkan pada pandangan pada keindahan dan keburukan.
10. Kebenaran ilmiah, adalah kebenaran yang ditandai oleh terpenuhinya syarat-syarat ilmiah, menyangkut relevansi antara teori dan kenyataan hasil penelitian di lapangan.
11. Kebenaran teologis, adalah kebenaran yang didasarkan pada firman-firman Tuhan, sebagai pesan-pesan moral yang filosofis.
12. Kebenaran idealogis, adalah kebanaran karena tidak menyimpang dari cita-cita kehidupan suatu bangsa. Kebenaran yang seiring dengan ideology yang dianut.
13. Kebenaran konstitusional, yaitu kebenaran atas dasar undang-undang, sehingga tindakan yang tidak bertentangan dengan undang-undang dinyatakan sebagai konstitusional, sedangkan yang menentangundang-undang disebut sebagai inkonstitusional.
14. Kebenaran logis, yaitu kebenaran karena lurusnya berpikir. Kebenaran ini dicirikan oleh bentuk pemberian pengertian dan definisi.
Ilmu pengetahuan yang paling utama membicarakan berbagai macam criteria kebenaran, dalam hal ini terdiri atas dua jenis-jenis kebenaran sebagai berikut :
1. Kebenaran absolute, yaitu kebenaran mutlak. Cirri kebenaran mutlak adalah kebenaran yang benar dengan sendirinya, tidak berubah-ubah, dan tidak membutuhkan pengakuan dari siapa pun supaya menjadi benar. Kebenaran mutlak berlaku bagi Dzat Pencipta Kebenaran, yaitu Tuhan.
2. Kebenaran relative, merupakan kebenaran yang berubah-ubah. Semua hasil pengetahuan dinyatakan benar, apalagi kebenaran tersebut mempunyai alasan yang logis.
3. Kebenaran spekulatif, yaitu kebenaran yang menjadi cirri khas filsafat. Kebenaran ini bersifat “kebetulan” dengan landasan rasional dan logis.
4. Kebenaran korespondensi, kebenaran yang bertumpu pada realitas objektif. kriteria kebenaran korespondensi dicirikan oleh adanya relevansi pernyataan dan kenyataan, antara teori dan praktik.
5. Kebenaran pragmatis, kebenaran yang diukur oleh adanya manfaat suatu pengetahuan bagi kehidupan manusia, baik sebagai individu maupun kelompok. Pegangan pragmatis adalah logika pengamatan.
6. Kebenaran normative, yaitu kebenaran yang di dasarkan pada sistem social yang sudah baku. Misalnya, kebenaran karena tuntutan adat kebiasaan atau kesepakatan social yang telah lama berlaku dalam kehidupan cultural masyarakat bersangkutan.
7. Kebenaran religius, yaitu kebenaran yang di dasarkan kepada ajaran dan nilai-nilai dalam agama. Kebenaran diperoleh bukan hanya oleh penafsiran ajaran secara rasio, melainkan didasarkan pada keimanan kepada ajaran yang dimaksudkan.
8. Kebenaran filosofis, ialah kebenaran terhadap hasil perenungan dan pemikiran refleksi ahli filsafat yang disebut hakikat atau the nature, meskipun subjektif, tampak mendalam karena melalui penghayatan eksistensial bukan hanya pengalaman dan pemikiran intelektual semata.
9. Kebenaran estesis, adalah kebenaran yang didasarkan pada pandangan pada keindahan dan keburukan.
10. Kebenaran ilmiah, adalah kebenaran yang ditandai oleh terpenuhinya syarat-syarat ilmiah, menyangkut relevansi antara teori dan kenyataan hasil penelitian di lapangan.
11. Kebenaran teologis, adalah kebenaran yang didasarkan pada firman-firman Tuhan, sebagai pesan-pesan moral yang filosofis.
12. Kebenaran idealogis, adalah kebanaran karena tidak menyimpang dari cita-cita kehidupan suatu bangsa. Kebenaran yang seiring dengan ideology yang dianut.
13. Kebenaran konstitusional, yaitu kebenaran atas dasar undang-undang, sehingga tindakan yang tidak bertentangan dengan undang-undang dinyatakan sebagai konstitusional, sedangkan yang menentangundang-undang disebut sebagai inkonstitusional.
14. Kebenaran logis, yaitu kebenaran karena lurusnya berpikir. Kebenaran ini dicirikan oleh bentuk pemberian pengertian dan definisi.
Senin, 29 Desember 2014
ORGANISASI DIRI
Pada tingkatnya yang paling kecil, organisasi
adalah pribadi. Hidup kita adalah sebentuk organisasi. Ia memiliki tata
tertentu yang membuatnya tetap ada, misalnya kita makan dan istirahat, guna
memperbaiki sel-sel tubuh kita yang rusak. Kita juga mempunyai tujuan tertentu,
yakni cita-cita yang ingin kita capai di masa depan.
Seorang atlit basket akan mengorganisir dirinya
dengan baik. Ia akan bangun pagi, berolah raga, dan makan makanan yang bergizi.
Ia akan berlatih secara rutin, tanpa merusak kesehatannya. Inilah yang dimaksud
organisasi diri.
Maka dari itu, kita setidaknya mengenal dua kata,
yakni organisasi dalam arti kelompok, dan organisasi dalam arti organisasi
diri. Di dalam perkembangan sejarah manusia, keduanya ada untuk mengabdi satu
tujuan, yakni keberlangsungan hidup. Organisasi ada untuk menjamin, bahwa
manusia tetap ada dan berkembang di dalam dunia ini. Ada dua hal yang kiranya
perlu diperhatikan disini.
Yang pertama, apakah orang-orang yang berada di
dalam organisasi itu memiliki tujuan yang sama? Jika tidak, maka organisasi itu
akan sulit berkembang, dan justru menciptakan banyak masalah baru yang
sebelumnya tak ada. Yang kedua adalah mentalitas yang sama. Dalam arti ini,
mentalitas adalah sikap hidup dalam bentuk kebiasaan dan pola perilaku yang
sama. Orang yang malas dan rajin akan mengalami kesulitan untuk bekerja sama
dalam satu organisasi.
Penyakit Organisasi
Namun, organisasi bisa jatuh ke dalam tiga
kelemahan berikut. Yang pertama adalah organisasi yang berubah menjadi
birokrasi. Ketika ini terjadi, organisasi akan bekerja dengan sangat lambat,
dan lebih sibuk dengan urusan-urusan administratif, daripada mencoba mencapai
tujuan dasar dari organisasi itu sendiri.
Organisasi semacam itu juga akan mudah sekali jatuh
ke dalam korupsi. Birokrasi akan membuat sulit banyak orang. Akhirnya, mereka
mencari cara untuk bergerak melampaui birokrasi tersebut, jika perlu dengan
cara-cara curang. Inilah akar dari segala bentuk korupsi di dalam organisasi,
yakni ketika ia menjadi sekedar mesin birokrasi tanpa jiwa, dan kehilangan arah
tujuan dasarnya sendiri.
Di banyak kota di Indonesia, banyak organisasi
pemerintahan telah berubah menjadi birokrasi yang korup. Untuk membuat KTP,
orang harus menunggu lama. Ketika orang itu tidak sabar, ia lalu menyuap untuk
mempercepat proses. Birokrasi yang absolut adalah tanah yang subur untuk
korupsi.
Tanpa jiwa, organisasi akan menjadi sebentuk
penjajahan atas manusia. Orang dipaksa untuk patuh, tanpa tahu, mengapa ia
harus patuh. Ia dipaksa untuk berpikir dan bertindak seperti orang-orang
lainnya di dalam organisasi. Inilah salah satu bahaya organisasi.
Contoh dari organisasi semacam ini adalah agama.
Fundamentalisme kini menjadi penyakit akut dari banyak agama di dunia. Orang
diancam dengan hukum dosa dan neraka, supaya mereka patuh pada perintah agama
yang dibuat oleh orang-orang yang berniat jahat. Akhirnya, agama kehilangan
dimensi
Dengan kebebasan ini, orang tidak akan pernah terpenjara di dalam
organisasi. Ia akan bisa membangun hubungan yang sehat antara diri pribadinya
dengan organisasinya. Ia bisa bekerja sama, tanpa menjadi patuh buta. Ia bisa
berpikir kritis dan mengajukan pertanyaan, tanpa menjadi perusak kebersamaan.Pendek kata, ia bisa menari di atas organisasi.
spiritualnya, dan menjadi penjajah jiwa.
Namun, sekali lagi perlu ditekankan, bahwa organisasi selalu berarti dua hal, yakni organisasi kelompok dan organisasi diri. Keduanya tidak boleh dipisahkan. Ketika organisasi kelompok lebih kuat, maka peluang korupsi dan konformitas ekstrem akan semakin besar. Organisasi diri mengandaikan satu hal yang amat penting, yakni kebebasan diri untuk berpikir dan membuat keputusan.
SEJARAH FILSAFAT UNTUK INDONESIA
Sejarah Filsafat tertuang dalam beragam buku yang
tersebar sepanjang lebih dari 2000 tahun di Eropa. Dalam arti ini, filsafat
berarti tindakan berpikir manusia secara kritis dan rasional dengan akal
budinya untuk memahami dunia di sekitarnya, termasuk alam, manusia, masyarakat
dan juga Tuhan. Filsafat dalam arti ini tentu berbeda dengan kata “filsafat”,
sebagaimana dipahami di Indonesia. Filsafat juga berbeda dengan agama, tradisi
dan mistik, sebagaimana banyak dipahami orang di Indonesia.
Di dalam proyek ini, saya mencoba untuk
memperkenalkan buku-buku penting di dalam sejarah Filsafat. Sebagai panduan,
saya mengikuti uraian yang telah dibuat oleh Siegfried König di dalam bukunya
yang berjudul Hauptwerke der Philosophie: Von der Antike bis 20. Jahrhundert
yang terbit pada 2013 lalu. Uraian yang saya buat ini juga muncul setiap
minggunya melalui website rumahfilsafat.com
yang dapat langsung dilihat di Internet. Namun, saya tidak akan mengikuti begitu
saja uraian König, tetapi juga memberikan tafsiran, bagaimana
pemikiran-pemikiran filosofis ini bisa diterapkan untuk keadaan Indonesia.
Tujuan saya sederhana, supaya pembaca di Indonesia
memiliki wawasan menyeluruh atas karya-karya kunci di dalam sejarah filsafat,
sehingga kita di Indonesia memiliki arah tidak hanya atas masa depan
kita, tetapi juga atas identitas kita sebagai manusia, dan sebagai bangsa.
Wawasan semacam ini bisa diperoleh, jika kita memahami inti gagasan para filsuf
besar yang tertuang di dalam buku-buku mereka yang merentang lebih dari 2000
tahun. Pemahaman ini tidak datang dari penerimaan mentah-mentah gagasan
mereka, namun justru dari pertimbangan kritis atasnya. Pertimbangan kritis bisa
mengambil dua bentuk, yakni mempertanyakan kesahihan ide-ide mereka (1), dan
mencoba melihat sumbangan sekaligus keterbatasan ide-ide itu di Indonesia (2).
Pertanyaan yang muncul berikutnya adalah, buku mana
yang harus kita baca? Dimana kita harus mulai, jika kita ingin memahami sejarah
filsafat? Jawaban atas pertanyaan ini seringkali subyektif. Ada yang bilang,
kita harus mulai dari para filsuf pra-sokratik, seperti Herakleitos dan
Parmenides. Ada yang bilang, kita cukup memahami Plato, jika ingin menelusuri
sejarah filsafat sejak awal mulanya.
Pilihan saya mengikuti pilihan yang dibuat
Siegfried König. Saya juga menambahkan beberapa buku, yang kiranya penting
untuk dipahami di dalam sejarah filsafat, misalnya buku Faktizität und
Geltung: Beiträge zur Diskurstheorie des Rechts und des demokratischen Rechtsstaats
yang ditulis Jürgen Habermas dan Eine Art zu Leben: über die Vielfalt
menschlicher Würde yang ditulis Peter Bieri. Buku-buku lain, seperti Politeia
dari Plato, Kritik der Reinen Vernunft dari Immanuel Kant dan Sein
und Zeit dari Martin Heidegger tentu memperoleh tempat yang kokoh di dalam
sejarah filsafat. Seperti König, penekanan saya adalah filsafat kontemporer,
supaya kita bisa memahami dan mengikut perdebatan-perdebatan penting seputar
tema keberadaan manusia dan ide tentang keadilan yang penting di jaman kita.
Tentu saja, saya tidak akan membahas panjang lebar
masing-masing karya. Saya hanya akan mengangkat langsung ide utama dari setiap
buku. Ide-ide ini telah membentuk peradaban manusia, seperti kita lihat
sekarang ini. Setiap bagian mungkin hanya akan terdiri dari lima sampai enam
halaman. Tujuan buku ini bukan untuk memberikan keterangan menyeluruh tentang
masing-masing karya (itu akan butuh setidaknya 2000 halaman buku), namun untuk
memberikan wawasan menyeluruh tentang masing-masing karya penting di dalam
sejarah filsafat. Setelah itu, pembaca bisa memutuskan sendiri, karya apa yang
akan mereka dalami sendiri di dalam proses berikutnya.
Saya akan berusaha
untuk menulis sejelas mungkin. Prinsip yang saya gunakan adalah, menjelaskan
ide-ide para filsuf ini dengan bahasa yang amat sederhana, tanpa
menyederhanakan isinya. Ini tentu usaha yang amat menarik, penting sekaligus
juga sulit. Semoga pembaca bisa memetik wawasan-wawasan penting dari proyek
ini, sehingga hidup pribadi maupun sosial anda bisa semakin diperkaya oleh
wawasan-wawasan tersebut.
Langganan:
Komentar (Atom)