Setidaknya, ada satu perdebatan keras yang mewarnai perkembangan Zen
Buddhisme, yakni apakah Pencerahan batin dapat diperoleh secara
mendadak, atau melalui tahap-tahap yang telah ditentukan secara baku
sebelumnya. Salah satu pendapat besar menyatakan, bahwa Pencerahan bisa
diperoleh dengan tiba-tiba melalui beberapa peristiwa dan metode.4
Pendapat ini dianut oleh para Guru Zen yang berkembang di Cina selatan
pada tahun 600-an setelah Masehi. Pendapat lain menyatakan, tradisi,
dalam hal ini ritus-ritus Buddhisme, juga masih memainkan peran besar
untuk mendorong Pencerahan batin pribadi.
Pada akhirnya, pendapat pertama yang menang. Zen bukanlah agama untuk mengatur negara atau masyarakat, melainkan sebuah pandangan hidup yang membantu menata pikiran. Dengan pikiran yang tertata dengan baik, hidup pun bisa dijalani dengan kedamaian hati dan penuh cinta kasih. Jika Zen menjadi agama resmi dari suatu negara, maka Zen itu telah kehilangan rohnya, dan tidak lagi dapat disebut sebagai Zen. Ketika Zen menjalin hubungan erat dengan kekuasaan politik, maka ia telah kehilangan roh sejatinya, dan tidak lagi dapat disebut sebagai Zen. Ciri khas Zen adalah hidup yang sederhana dan kebebasan. Keduanya dianggap lebih berharga daripada kejayaan politis dan ekonomis.
Para guru Zen tidak bekerja di kota-kota besar. Mereka hidup di gunung-gunung, dan mencoba untuk menemukan cara-cara yang lebih baik, supaya orang bisa mencapai pencerahan batin. Pencerahan batin sendiri tidak bisa dicapai dengan teori abstrak yang masih terjebak di dalam kosa kata bahasa. Ia adalah pemahaman tanpa kata-kata (wordless understanding). Para guru Zen ini menolak tradisi Buddhisme yang terjebak pada ritual, pemujaan pada tradisi dan pengaruh kekuasaan politik atas agama. Namun, di dalam tradisi Cina, keberlanjutan dengan tradisi masa lalu adalah sesuatu yang dianggap penting. Ini juga berlaku untuk Zen Buddhisme yang berkembang Cina Selatan pada masa-masa itu. Mereka pun melihat Hui-Neng, Patriakh Zen yang keenam, sebagai leluhur mereka.
Seperti sudah disinggung sebelumnya, ada dua aliran besar yang nantinya menyebar sampai Jepang, yakni Rinzai Zen dan Soto Zen. Kedua aliran tersebut masih ada sampai sekarang ini, dan menyebar ke berbagai belahan dunia lainnya. Aliran Rinzai Zen didirikan oleh Nan-yueh Huai-jang yang hidup pada 677-744. Sementara, aliran Soto Zen dapat ditelusuri kembali pada Ch’ing-yuan Hsing-ssu yang meninggal pada sekitar 740. Huai-jang, pendiri Rinzai Zen, diduga pernah belajar langsung pada Hui-Neng, Patriakh Zen yang keenam. Huai-Jang nanti mempunyai seorang murid yang bernama Ma-tsu Tao-i yang hidup dari 709 sampai 788. Ma-tsu bisa dibilang melengkapi dasar dari Rinzai Zen. Ia memiliki peran yang amat besar dalam membentuk cara berpikir Buddhis yang mendasari Rinzai Zen. Saya akan mencoba menjabarkan beberapa pemikirannya sebagai dasar untuk memahami spiritualitas agama tanpa “agama.”
Nama Ma-tsu berarti juga “guru Ma”. Ia lahir di propinsi Szechuan dan telah menjadi biksu Buddhis sejak usia muda. Ketika muda, seperti banyak biksu Zen Buddhis lainnya, ia berkelana ke berbagai Kuil Buddha, dan akhirnya hidup dan belajar di Kuil Buddha yang dipimpin oleh Huai-jang di Gunung Nan-Yueh. Perjumpaan antara Ma-tsu dan Huai-jang amat terkenal. Perjumpaan ini menandakan sikap kritis Zen Buddhisme pada praktik-praktik tradisional Buddhisme yang telah ada sebelumnya, termasuk, ironisnya, praktek meditasi berjam-jam, guna sampai pada pencerahan batin. Suatu waktu, Huai-jang, sang Zen Master, melihat Ma-tsu yang sedang bermeditasi. Huai-jang pun bertanya, apa tujuannya bermeditasi. Ma-tsu segera menjawab, “Saya ingin menjadi Buddha, yakni manusia yang tercerahkan.” Huai-jang tidak menanggapi jawaban itu. Ia mengambil batu dan mulai menggosok batu itu ke batu lainnya. Ma-tsu merasa penasaran, mengapa gurunya melakukan itu. Ia pun bertanya, “Mengapa guru melakukan itu?” Gurunya menjawab, “Aku mau mengubah batu ini menjadi cermin.” Ma-tsu menanggapi, “Bagaimana mungkin?” Gurunya melanjutkan, “Bagaimana kamu bisa mencapai pencerahan batin dengan duduk dan bermeditasi?” Bagi Huai-jang, pandangan yang nantinya juga dianut oleh Ma-tsu, pencerahan batin (menjadi Buddha- manusia yang tercerahkan) adalah sebuah tindakan aktif, dan bukan tindakan pasif, seperti bermeditasi. Ia tidak dapat diraih dengan duduk diam, melainkan dengan hidup yang aktif.
Selain memiliki pemikiran yang maju, sosok fisik Ma-tsu juga amat berkesan untuk murid-muridnya. Sebagaimana dinyatakan oleh Hoover, Ma-tsu memiliki tatapan mata seperti singa. Ia bisa menyentuh hidungnya dengan lidahnya.5 Di telapak kakinya, ada tanda berbentuk roda. Di antara murid-murid Huai-jang, hanya Ma-tsu yang memperoleh pengakuan untuk meneruskan ajaran-ajarannya. Namun, sumbangan tertinggi Ma-tsu bagi perkembangan Zen Buddhisme terletak pada metode mengajarnya, yakni dengan memberi kejutan mendadak pada para muridnya, sehingga mereka bisa sampai pada pencerahan batin, dan menjadi Buddha. Di dalam tradisi Zen, pencerahan batin bisa dicapai, jika orang mampu memahami hakekat dirinya sendiri. Pemahaman akan hakekat diri juga berarti pemahaman akan hakekat terdalam dunia. Namun, Hui-neng, yang dikenal sebagai Patriakh Zen keenam, tidak memberikan cara yang jelas, bagaimana orang bisa sampai pada pemahaman semacam ini. Meditasi berjam-jam dan melakukan berbagai ritual Buddhis tentu tidak cukup untuk sampai pada pencerahan batin.
Ma-tsu adalah guru Zen pertama yang mengembangkan metode tanpa meditasi dan tanpa ritual untuk mencapai pencerahan batin. Intinya adalah membawa orang keluar dari kebiasaan berpikir rasionalnya, dan masuk ke dalam kondisi “tanpa pikiran”. Ia mencoba berbagai cara, supaya orang bisa melepaskan kebiasaan berpikir logis dan rasionalnya. Pencerahan batin adalah kondisi pikiran yang melampaui nalar dan logika. Para muridnya nantinya juga akan mengembangkan beragam metode, guna memecah kebiasaan berpikir logis dan rasional. Biasanya, Ma-tsu akan mengajukan pertanyaan yang tak akan bisa dijawab dengan rasionalitas dan logika. Ia adalah guru Zen pertama yang menggunakan metode semacam ini, guna memicu pencerahan batin murid-muridnya. Ketika ditanya oleh Ma-tsu, biasanya pertanyaan yang tak akan bisa dijawab dengan rasionalitas dan logika, muridnya biasanya akan mengalami kebingungan. Pada saat ini, Ma-tsu akan berteriak, “HO!!”, ke telinga muridnya. Pada saat itu pula, muridnya akan mengalami kondisi di luar akal budi dan logika, yakni apa yang disebut Ma-tsu sebagai pikiran tanpa dualisme, yakni tanpa pembedaan. Semua hal, walaupun sejenak, dilihat sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan.
Cara lainnya adalah dengan memanggil nama seseorang, tepat ketika orang tersebut telah pergi dari ruangan. Tindakan ini akan menghasilkan kejutan. Selama sesaat, ia akan terputus dari rantai berpikir logis dan rasionalnya, serta merasakan hakekat aslinya yang bersifat intuitif. Cara lainnya adalah dengan memukul seorang murid, ketika ia mulai merenungkan sesuatu dengan akal budinya. Pukulan ini ditujukan untuk melepaskan orang dari renungan rasionalnya, dan masuk ke dalam ranah intuisi untuk memahami hakekat diri aslinya. Cara lainnya adalah dengan memberikan jawaban yang tidak masuk akal atas pertanyaan yang diajukan oleh murid. Tujuannya adalah, supaya murid sadar, betapa dangkal dan tidak relevannya pertanyaan yang diajukan. Ma-tsu juga sering mengirim seorang murid untuk berdiskusi dengan murid-muridnya untuk hal-hal yang tidak masuk akal. Ia berharap, sang murid bisa menyadari dangkal dan bodohnya dari pertanyaan yang ia ajukan, ketika ia berjumpa dengan berbagai pribadi lainnya yang juga mencoba menghayati Zen Buddhisme. Ma-tsu mengembangkan berbagai teknik, guna menggoyang semua kebiasaan berpikir rasional dan logis murid-muridnya. Baginya, pencerahan batin tidak akan pernah bisa dicapai dengan akal dan logika. Ia hanya bisa diraih melalui intuisi tentang hakekat terdalam dari seluruh kenyataan yang ada. Intuisi ini bersifat aktif, dan tidak bisa didapatkan begitu saja dari meditasi yang bersifat pasif. Pukulan, kejutan, jawaban dan pertanyaan-pertanyaan yang tidak masuk akal bisa membuat orang berpikir secara aktif, dan menemukan intuisi yang mendorong pencerahan batinnya.
Ma-tsu juga mencoba merumuskan ulang arti dari pencerahan batin yang merupakan tujuan utama dari semua praktik Buddhisme. Baginya, pencerahan batin berarti melihat ke dalam hakekat dirinya sendiri secara intuitif. Dan karena hakekat diri dan hakekat dari segala yang ada adalah sama, maka melihat hakekat diri sendiri berarti juga melihat hakekat dari segala yang ada. Semua ini dilakukan tidak dengan menggunakan akal budi dan logika, melainkan intuisi. Metode untuk mengajarkan pemahaman ini tidak bisa dengan metode biasa yang digunakan, seperti menggunakan konsep dan akal budi untuk memahami sesuatu. Ini hanya akan menghasilkan pemahaman intelektual yang tidak banyak memberikan peran di dalam pencerahan batin. Seperti dijelaskan sebelumnya, Ma-tsu mencoba mengembangkan cara-cara baru untuk mengajarkan pemahaman intuitif semacam ini. Setiap gerak, bahkan diam, bisa digunakan untuk membawa orang pada pemahaman intuitif. Sakyamuni Buddha bahkan bisa mendorong muridnya untuk mencapai pencerahan batin hanya dengan memegang setangkai bunga.
Bisa juga dikatakan, bahwa inti dari pendidikan Zen adalah pemahaman intuitif. Semua orang bisa mencapai pencerahan batin, asal ia bisa melihat hakekat dirinya sendiri secara intuitif. Akar dari pencerahan batin, menurut tradisi Zen, adalah pikiran manusia. Pikiran itu lalu tercermin di dalam setiap tindakan dan keputusan manusia dalam hidupnya. Pencerahan batin adalah kondisi, dimana manusia melepas semua pikiran rasional dan logisnya, serta masuk sepenuhnya ke dalam pemahaman intuitif. Segala bentuk meditasi dan ritual, jika tidak mampu menyentuh pemahaman intuitif, hanya akan menjadi tindakan yang tidak berguna. Yang hanya perlu dilakukan adalah melepas segalnya, dan menjadi alamiah seutuhnya. Kita bisa duduk, berjalan, tidur, dan memasak. Asalkan semuanya dilakukan secara alamiah dan intuitif, maka kita sedang menuju ke dalam pencerahan batin, begitu kata Ma-tsu.6 Pikiran harus dilepaskan dari segala kategori rasional dan logis, sehingga ia bisa menjadi bebas seutuhnya. Jangan ingin berbuat jahat, dan juga jangan ingin berbuat baik. Tidak ada hukum untuk mengatur hidup. Tidak ada pencerahan batin yang ingin dicapai. Kebebasan berpikir yang dijaga melalui intuisi dan menolak untuk menggantungkan diri pada apapun, itulah pencerahan batin, bagi Ma-tsu.7
Ma-tsu, sebagai seorang tokoh penting di dalam tradisi Zen Buddhisme, tidak hanya menolak ritual yang menjadi ciri tradisional dari Buddhisme, tetapi juga merumuskan ulang arti dari pencerahan batin itu sendiri. Baginya, pencerahan batin bukanlah sebuah konsep religius yang suci dan luhur, melainkan suatu keadaan manusiawi yang bisa dialami setiap orang. Ma-tsu sendiri telah mempelajari Buddhisme tradisional dengan segala teks dan ritualnya. Namun, baginya, itu semua hanya alat untuk mencapai pencerahan batin. Ada cara lain yang mungkin lebih baik, yang bisa ditempuh untuk mencapai tujuan yang sama. Ma-tsu menggunakan bahasa sehari-hari untuk mengajarkan Zen kepada orang banyak, supaya mereka juga bisa sampai pada pencerahan batin. Kuncinya adalah melihat ke dalam hakekat diri sendiri secara intuitif. Tidak ada usaha manusia yang bisa dicapai untuk mencapai pencerahan batin, kecuali menyingkirkan semua pikiran logis dan rasional, dan kemudian menunggu momen pencerahan batin. Tentu saja, sebagai guru Zen, Ma-tsu berusaha menemukan cara-cara baru untuk mendorong orang melepaskan pikiran logis dan rasionalnya.
Meditasi hanya salah satu jalan untuk mencapai pencerahan batin. Itu pun, bagi Ma-tsu, bukanlah jalan yang paling baik. Sejauh sebuah cara mampu mendorong munculnya intuisi atas dunia, maka cara itu yang paling diutamakan untuk mencapai pencerahan batin. Selama sebuah cara mampu mendorong pembebasan pikiran dari berbagai analisis rasional dan logika, maka cara itulah yang perlu diutamakan untuk mencapai pencerahan batin. Ketika pikiran manusia terjebak di antara kutub-kutub, misalnya benar-salah, baik-buruk dan hidup-mati, maka ia akan terus terjebak dalam kebingungan dan penderitaan hidup. Ia tidak akan bisa sampai pada pencerahan batin. Dasar dari pencerahan batin, bagi Ma-tsu, adalah kebenaran itu sendiri. Namun, kebenaran itu bukanlah konsep “kebenaran” yang bersifat rasional dan logis, melainkan intuisi tentang kebenaran yang lahir dari persentuhan langsung dengan kenyataan yang ada, tanpa konsep dan tanpa pikiran. Semua ini bisa dilakukan dalam hidup sehari-hari, yakni ketika orang menjalani hidupnya sehari-hari dengan intuisi penuh akan hakekat dari kenyataan yang ada, tanpa pertimbangan rasional dan logis, dan tanpa pertimbangan baik-buruk.
Dengan sikap hidup semacam ini, orang akan mencapai pencerahan batin. Dengan pencerahan batinnya, ia akan bersikap sesuai dengan yang dibutuhkan pada keadaan tertentu yang ada di depan matanya. Ia akan menjadi pribadi yang tanggap terhadap keadaan yang ada, dan bukan pribadi yang cuek atau justru reaksioner-emosional, seperti kebanyakan orang, ketika menghadapi keadaan yang jelek. Pemahaman intuitif, yang merupakan inti dari Zen Buddhisme ini, dapat diperoleh dengan mendengar berbagai cerita pendek yang berkembang dari pembicaraan antara guru dan murid di dalam tradisi Zen Buddhisme. Cerita ini menjadi dasar untuk mencapai pengalaman akan intuisi. Orang yang mendengar cerita-cerita ini lalu juga bisa berkaca, dan melihat pengalaman serta hakekat dirinya sendiri. Di samping cerita-cerita pendek semacam ini, Ma-tsu juga menggunakan metode lama, yakni memberikan kuliah umum. Di dalam kuliah-kuliah ini, Ma-tsu tidak memberikan pemahaman baru, melainkan metode baru untuk mengajak orang menemukan intuisinya. Thomas Hoover menafsirkan, bahwa inti dari kuliah-kuliah Ma-tsu adalah penegasan, bahwa dunia adalah semata pikiran manusia. Pencerahan batin hanya dapat dicapai, jika orang menyadari hal ini tidak dengan akal budi dan logikanya, melainkan dengan intuisinya.
Pikiran manusia, bagi Ma-tsu, adalah Buddha. Buddha, atau kondisi pencerahan batin, tidak berada di luar manusia, melainkan di dalam pikirannya. Orang yang mencari pencerahan batin di luar dirinya tidak akan menemukan apapun, karena tidak ada yang dicari. Pikiran yang bersih dari segala “pikiran” adalah Buddha. Tidak ada pembedaan antara baik dan buruk, karena pikiran yang asali, yakni pikiran yang bersih, melampaui semua pembedaan yang biasa kita temukan di dalam dunia. Di dalam hidup, menurut Ma-tsu, kita tidak boleh memilih yang baik dan menolak yang buruk. Keduanya merupakan gangguan pada kemurnian pikiran kita. Keduanya adalah kosong dan ilusi yang harus dihindari, jika orang ingin mencapai pencerahan batin. Nilai baik dan buruk adalah hasil ciptaan manusia. Ia masih terjebak pada dunia sosial. Yang lebih dalam lagi adalah intuisi tentang kenyataan yang berada melampaui penilaian baik dan buruk tersebut. Di dalam intuisi ini, dunia adalah satu. Ia tidak dipisahkan oleh kutub-kutub penilaian. Inilah yang disebut sebagai pemikiran non-diskriminatif, yakni pemikiran yang tidak lagi membeda-bedakan. Jika orang memahami ini dengan intuisinya, maka segala bentuk pembedaan akan menjadi tidak berarti baginya.
Jika dunia adalah ciptaan dari pikiran, dan pikiran manusia mesti dilampaui untuk sampai pada pemahaman intuitif dan pencerahan batin, maka dunia pun sejatinya adalah sesuatu yang harus dilampaui dengan intuisi. Segala sesuatu yang ada pada dasarnya adalah kekosongan. Ia terus berubah, karena ia tidak memiliki hakekat yang tetap, demikian kata Ma-tsu. Jika ia tampaknya ada, maka itu adalah ciptaan dari pikiran kita yang juga nantinya akan berubah. Segala yang ada adalah pantulan dari pikiran, dan pikiran manusia juga sejatinya adalah kekosongan itu sendiri. Ini adalah pemahaman dasar dari pencerahan batin di dalam Zen Buddhisme, menurut Ma-tsu. Jika orang memahami ini tidak secara rasional dan logis, melainkan secara intuitif, maka ia akan menjalani hidupnya dengan tenang, seolah semuanya transparan dan kosong. Dengan pola hidup semacam ini, ia pun lebih terdorong untuk meningkatkan mutu hidup spiritualnya. Inilah inti dari segala latihan di dalam Zen Buddhisme, menurut Ma-tsu. Pencerahan batin berarti menghadapi hidup dan melihat diri sendiri serta segala pikiran yang ada sebagai sesuatu yang kosong dan ilusif. Pengetahuan intelektual tentang hal ini tidaklah mencukupi untuk sampai pada pencerahan batin. Orang harus mengalami kekosongan ini secara intuitif. Di dalam salah satu Koan,8 Ma-tsu berdiskusi dengan salah satu muridnya tentang hakekat dari Zen Buddhisme. Muridnya bertanya, “Apa itu Buddha?” Ma-tsu menjawab, “Pikiran adalah Buddha. Tidak ada pikiran, tidak ada Buddha.” Dalam arti ini, Buddha adalah kondisi pencerahan batin.
Dari dialog ini bisa disimpulkan, bahwa pencerahan batin adalah kondisi pikiran manusia. Maka, pencerahan batin berarti juga pencerahan pikiran. Kenyataan dan dunia adalah ciptaan dari pikiran manusia. Tidak ada pencerahan batin di luar pencerahan pikiran manusia. Ada cerita lainnya. Seorang murid bertanya kepada Ma-tsu, “Apakah pikiran sungguh adalah Buddha?” Ma-tsu menjawab, “Karena aku ingin menghentikan tangis seorang bayi.” Sang murid merasa bingung dengan jawaban itu. Ia pun melanjutkan, “Ketika tangisnya berhenti, lalu apa?” Ma-tsu menjawab, “Bukan pikiran, bukan Buddha.” Sang murid kembali menjawab, “Bagaimana kamu mengajarkan orang untuk bisa berpikir seperti itu?” Kata Ma-tsu, “Saya akan bilang pada mereka, ‘bukan-pikiran’, ‘bukan-sesuatu’.” Kata muridnya, “Jika kamu bertemu dengan orang yang telah bebas dari keterikatan dengan segala sesuatu, apa yang akan kamu katakan padanya?” Jawab Ma-tsu, “Saya akan membiarkan dia mengalami Tao yang sesungguhnya.” Tao disini berarti “jalan” menuju pencerahan batin.
Dari dialog ini, seperti dinyatakan oleh Hoover, kita bisa melihat ciri khas dari cara mengajar Ma-tsu. Terkadang, ia menggunakan kata-kata positif. Lalu, ia berubah menggunakan kata-kata negatif. Dua bentuk kalimat ini jelas mengundang kebingungan dari pendengarnya. Namun, gaya semacam ini haruslah dimengerti dalam konteks tujuan pendidikan Zen, yakni mengajak orang untuk melampaui cara berpikir logis dan rasional, lalu memasuki pemahaman yang bersifat intuitif, dimana paradoks dan kontradiksi menjadi ciri yang utama. Metode dialog ini dapat juga dimengerti sebagai dialektika, yakni pengembangan argumen melalui percakapan timbal balik. Dan tujuan yang ingin dicapai, yakni pemahaman intuitif tentang hakekat dari segala sesuatu, dapat dimengerti sebagai transrasionalitas, yang berarti melampaui rasionalitas. Hoover memberikan contoh lainnya dari dialog antara Ma-tsu dengan muridnya. Suatu waktu, seorang murid bertanya kepada Ma-tsu tentang kesehatan tubuhnya. Ma-tsu menjawab, “Buddha berwajah matahari, Buddha berwajah bulan.” Di dalam tradisi Zen Buddhisme, Buddha berwajah matahari hidup selamat 1800 tahun. Sementara, Buddha berwajah bulan hanya hidup satu hari dan satu malam. Dari jawaban ini, Ma-tsu ingin menunjukkan, betapa tidak pentingnya pertanyaan dari muridnya tersebut. Tubuh fisik sama sekali tidak memiliki nilai. Yang sungguh bernilai adalah kondisi pikiran.
Tujuan dari pendidikan Zen, bagi Ma-tsu, adalah melepaskan manusia dari logika dan pembedaan-pembedaan yang ia buat di dalam hidupnya, misalnya pembedaan antara baik dan buruk, benar dan salah, aku dan kamu, dan sebagainya. Ada lagi cerita lainnya yang dikutip Hoover untuk menjelaskan, bagaimana Ma-tsu membongkar cara berpikir muridnya yang masih terjebak pada pembedaan-pembedaan di dalam kenyataan. Cara berpikir yang membeda-bedakan ini disebut juga sebagai dualisme. Seorang guru Zen bertanya kepada Ma-tsu, “Apa yang diajarkan oleh para guru Zen?” Ma-tus kemudian menjawab dengan mengajukan pertanyaan, “Apa yang telah kau ajarkan?” Sang guru Zen menjawab, bahwa ia telah mengajarkan tentang Sutra dan Sastra dari Buddha. Semua itu merupakan teks-teks tradisional yang menjadi dasar bagi Buddhisme. Ma-tsu kemudian menanggapi, “Apakah kamu seekor singa?” Sang guru Zen menjawab, “Saya tidak mau menjawab pertanyaan itu.” Ma-tsu kemudian menghembuskan nafasnya, tanda kecewa. Sang guru Zen kembali bertanya, “Apakah ini cara mengajarkan Zen?” Ma-tsu menanggapi, “Apa maksudmu? Cara singa keluar dari kandang? Ketika tidak ada jalan keluar dan jalan masuk, apa itu lalu?” Sang guru Zen tidak menjawab.
Salah satu gaya mengajar Ma-tsu adalah dengan mengajukan pertanyaan yang tak bisa dijawab dengan akal dan logika. Ini yang di dalam tradisi Zen Buddhisme disebut sebagai Mondo. Pertanyaan yang diajukan kerap kali tak berhubungan dengan konteks percakapan. Orang yang mendengar pun akan bingung, karena ia seolah terputus dari rantai logika dan akal budi. Pada titik inilah, menurut saya, dialektika transrasionalitas menemukan puncaknya. Cara mengajar yang dikembangkan oleh Ma-tsu ini merupakan pengembangan dari apa yang telah dimulai oleh Patriakh Zen keenam, yakni Hui-neng. Inti dari Mondo adalah penegasan, bahwa dunia dan segala kenyataan yang ada merupakan bentukan dari pikiran kita, dan segala sesuatu harus dikembalikan pada pikiran itu sendiri. Hoover memberikan satu contoh lainnya.
Seorang biksu menggambar empat garis di depan Ma-tsu. Garis yang atas panjang, dan tiga garis lainnya pendek. Ia kemudian bertanya kepada Ma-tsu, “Selain menyatakan, bahwa satu garis atas panjang dan tiga garis lainnya pendek, apalagi yang dapat kamu katakan?” Ma-tsu kemudian menggambar satu garis di tanah dan berkata, “Ini bisa disebut panjang atau pendek. Inilah jawabanku.” Sekali lagi, Ma-tsu menegaskan, bahwa bahasa itu tidak mampu menyampaikan kerumitan kenyataan. Dengan kata lain, sebagaimana dinyatakan oleh Hoover, bahasa itu menipu. Namun, ini bukan berarti, bahwa bahasa sama sekali tidak berguna. Bahasa bisa merumuskan kalimat yang logis. Akan tetapi, ia juga bisa jadi alat untuk mematahkan logika dan melampaui akal budi, yakni dengan memasuki ruang irasionalitas, dan mengajak orang untuk masuk ke dalam pemahaman intuitif. Di dalam pendidikan Zen, bahasa justru berguna, ketika ia tidak menyampaikan apa yang ingin disampaikan.
Ma-tsu hidup di dalam sebuah tradisi Zen dari Cina Selatan. Di dalam tradisi ini, pencerahan batin adalah proses yang bisa terjadi secara tiba-tiba, karena sebuah peristiwa yang dialami secara intuitif. Namun, melampaui para guru Zen sebelumnya, Ma-tsu berhasil menemukan cara untuk memicu pencerahan batin yang bersifat tiba-tiba ini. Caranya adalah dengan melalui teriakan dan pukulan ke tubuh untuk mendorong orang keluar dari delusinya, dan mencapai pencerahan batin. Cara semacam ini nantinya akan berkembang di tangan murid-murid dari Ma-tsu. Salah satunya adalah Lin-chi yang akan dibahas di bagian berikutnya. Cara mengajar semacam ini juga akan berkembang di dalam tradisi Rinzai-Zen yang masih hidup dan berkembang terus di Jepang, Amerika dan Eropa. Seperti sudah dijelaskan sebelumnya, percakapan sehari-hari juga menjadi metode mengajar Ma-tsu. Misalnya, seperti dikutip oleh Hoover, seorang biksu bertanya kepada Ma-tsu, “Apa tujuan dari Bodhidharma (pendiri Zen di Cina) datang ke dari India? Dan apa prinsip dasar dari Zen?” Tiba-tiba, Ma-tsu memukulnya, sambil berkata, “Jika saya tidak memukulmu, semua orang di tempat ini akan menertawakan saya.” Si biksu mencoba bangun, setelah terjatuh, karena pukulan Ma-tsu. Tiba-tiba, ia baru saja merasakan kenyataan disini dan saat ini. Ia mengalami pencerahan batin disitu.
Tidak semua pukulan dimaksudkan untuk mendorong lahirnya pemahaman intuitif. Tidak semua bentakan akan mendorong pencerahan batin. Ma-tsu memukul murid-muridnya dan orang-orang yang mengajukan pertanyaan kepadanya dengan tujuan untuk mengajak mereka mencerap saat ini dan disini. Ia ingin memecah kecenderungan berpikir logis dan rasional dengan mengajak mereka memasuki saat “kaget”, yakni saat dimana intuisi menjalankan perannya. Ada satu pengandaian yang menarik untuk ditelaah lebih dalam disini, bahwa pencerahan batin, atau menjadi Buddha, yang merupakan tujuan utama Buddhisme, tidak hanya merupakan pengalaman batin, tetapi juga pengalaman badan. Maka dari itu, ia pun bisa dicapai dengan kontak badan, seperti pukulan.9 Ada satu cerita lainnya, dimana Ma-tsu juga mengalami “kontak badan”.
Suatu waktu, Ma-tsu sedang duduk di kebun. Muridnya mendorong kereta. Posisi duduk Ma-tsu menghalangi muridnya tersebut. Muridnya meminta Ma-tsu untuk mengubah posisi duduknya, supaya kereta bisa lewat. Ma-tsu pun berkata, “Apa yang sudah dibuka tidak bisa ditutup lagi.” Muridnya menanggapi, “Apa yang sudah didorong maju tidak lagi dapat ditarik ke belakang.” Ia mendorong terus keretanya, dan menabrak kaki Ma-tsu. Kakinya pun cedera. Tak berapa lama kemudian, Ma-tsu masuk ke kuil. Sambil memegang kapak tajam, ia berkata, “Siapa yang tadi melindas kaki saya silahkan maju ke depan!” Sang murid pun tak ragu untuk menyatakan dirinya. Ia memberikan lehernya untuk dipotong oleh Ma-tsu. Namun, Ma-tsu tidak melakukan apapun, dan menurunkan kapaknya. Inilah suasana hubungan antara Ma-tsu dan murid-muridnya pada tahun 750 di Cina. Ia juga harus rajin dan cerdas dalam ranah praktis dan ranah spiritual, supaya bisa menjadi contoh dan kemudian membimbing murid-muridnya.
Zen Buddhisme hendak mengajak orang untuk menata pikirannya yang kerap tak beraturan.10 Sumber dari segala penderitaan dan juga kebahagiaan manusia adalah pikirannya. Jika pikirannya tak beraturan, misalnya tercampur dengan kenangan menyakitkan dari masa lalu dan harapan yang berlebihan akan masa depan, maka ia akan menderita. Jika pikirannya tertata, dan berakar di keadaan disini dan saat ini, maka ia akan menemukan kebahagiaan yang sesungguhnya. Jadi, kuncinya adalah menata pikiran. Di dalam tradisi Zen Buddhisme di Cina, pikiran-pikiran tak beraturan manusia kerap dilihat sebagai seekor banteng. Ia sulit diatur, sehingga bisa merusak segala yang ada di sekitarnya. Ia bukanlah binatang jahat, hanya sulit diatur. Dengan cara mengajar dan pandangannya yang unik, Ma-tsu juga mencoba untuk masuk ke dalam persoalan ini. Suatu waktu, Ma-tsu bertanya kepada muridnya, “Apa yang kamu lakukan?” Pertanyaan semacam ini tidak pernah boleh dijawab dengan logika dan rasionalitas biasa, terutama jika ditanyakan oleh Ma-tsu. Muridnya menjawab, “Saya sedang menggembala banteng.” Artinya, ia sedang berusaha menata pikirannya. “Bagaimana kamu melakukannya?”, tanya Ma-tsu. Muridnya menjawab, “Kapanpun si banteng ingin makan rumput, saya memukulnya di hidung, supaya ia kembali tegak.” Ma-tsu agak kaget mendengar tanggapan tersebut. Ia pun berkata, “Jika kamu bisa melakukan itu sendiri, maka lebih baik saya pensiun.”
Mengatur pikiran adalah keutamaan yang amat penting di dalam tradisi Zen Buddhisme. Namun, menata pikiran, yang juga berarti menata keseluruhan diri, bukanlah tujuan pada dirinya sendiri, melainkan hanya cara untuk mencapai tujuan lain. Segala aturan di dalam tradisi Zen, yang memang bertujuan untuk menata pikiran, adalah alat untuk mencapai tujuan lain, yakni pencerahan batin. Ketika orang mencapai pencerahan batin, maka pencerahan batin tidak lagi berarti baginya. Bahkan, pencerahan batin akan tampak seperti lelucon belaka. Konsep dan bahasa yang digunakan pun juga harus dilihat sebagai alat, dan tidak boleh dianggap sebagai kebenaran itu sendiri. Suatu waktu Ma-tsu kedatangan tamu seorang pejabat besar. Sang pejabat berkata, “Guru, haruskah aku makan daging dan minum anggur?” Ma-tsu tidak memberikan jawaban langsung. Ia mengajukan sebuah cara berpikir. “Makan dan minum adalah hakmu sebagai manusia. Tidak makan daging dan minum anggur adalah kesempatanmu untuk mendapat berkat lebih tinggi.” Dalam konteks ini, Ma-tsu menjawab dengan bahasa yang singkat. Ia tidak mau memberi kesan, bahwa bahasa-bahasa yang indah dan rumit akan memberikan pencerahan batin. Justru sebaliknya, bahasa yang rumit dan indah akan menjauhkan orang dari pemahaman.
Suatu waktu, seorang biksu mengajukan pertanyaan kepada Ma-tsu. “Apa artinya, bahwa Bodhidharma datang ke Cina?” Ma-tsu menjawab, “Apa maksud pertanyaanmu saat ini?” Zen Buddhisme bukanlah soal teori dan abstraksi atas peristiwa. Ia bukanlah analisis sebab akibat dari suatu peristiwa. Yang menjadi fokus utama dari Zen adalah dirimu disini dan saat ini. Pada titik tertentu, diri akan menghilang, dan orang akan sampai pada pencerahan batin. Hampir setiap hari, Ma-tsu mengajukan pertanyaan pada murid-muridnya. Ia juga terlibat dalam berbagai interaksi dengan muridnya yang bertujuan untuk mendorong muridnya mencapai pemahaman intuitif dan pencerahan batin. Suatu hari, Ma-tsu sedang duduk bersama tiga orang muridnya. Ia bertanya kepada mereka, “Apa yang sebaiknya kita lakukan sekarang ini?” Murid pertama menjawab, “Akan sangat baik, jika membaca tulisan-tulisan orang-orang dari masa lalu yang telah mengalami pencerahan batin.” Murid kedua menjawab, “Akan lebih baik lagi, jika kita bermeditasi.” Murid ketiga tidak berkata apa-apa. Ia berdiri, membersihkan pakaiannya dan meninggalkan ruangan. Bagi Ma-tsu, inilah jawaban yang “paling tepat”. Sikap ini, bagi Ma-tsu, adalah tanda, bahwa tindakan nyata, yakni berdiri dan meninggalkan ruangan, lebih berharga daripada abstraksi dan tindakan religius.
Hoover menegaskan, bahwa dengan metodenya yang unik, Ma-tsu memiliki 139 murid yang telah mengalami pencerahan batin. Mereka akhirnya menyebar, dan menjadi guru Zen di berbagai biara Buddhis di Cina. Mereka di kenal sebagai Zen dari Selatan, yakni dari Cina bagian Selatan. Sepanjang hidupnya, Ma-tsu tidak pernah menulis. Cerita tentang kisah hidupnya diperoleh dari catatan para muridnya. Konon, seperti dicatat oleh Hoover, ia meninggal dengan cara yang sama seperti guru-guru Zen lainnya. Ia meramalkan kematiannya sebulan sebelumnya. Ketika waktunya tiba, ia mandi, bermeditasi dan meninggal dalam keadaan tenang.
Pada akhirnya, pendapat pertama yang menang. Zen bukanlah agama untuk mengatur negara atau masyarakat, melainkan sebuah pandangan hidup yang membantu menata pikiran. Dengan pikiran yang tertata dengan baik, hidup pun bisa dijalani dengan kedamaian hati dan penuh cinta kasih. Jika Zen menjadi agama resmi dari suatu negara, maka Zen itu telah kehilangan rohnya, dan tidak lagi dapat disebut sebagai Zen. Ketika Zen menjalin hubungan erat dengan kekuasaan politik, maka ia telah kehilangan roh sejatinya, dan tidak lagi dapat disebut sebagai Zen. Ciri khas Zen adalah hidup yang sederhana dan kebebasan. Keduanya dianggap lebih berharga daripada kejayaan politis dan ekonomis.
Para guru Zen tidak bekerja di kota-kota besar. Mereka hidup di gunung-gunung, dan mencoba untuk menemukan cara-cara yang lebih baik, supaya orang bisa mencapai pencerahan batin. Pencerahan batin sendiri tidak bisa dicapai dengan teori abstrak yang masih terjebak di dalam kosa kata bahasa. Ia adalah pemahaman tanpa kata-kata (wordless understanding). Para guru Zen ini menolak tradisi Buddhisme yang terjebak pada ritual, pemujaan pada tradisi dan pengaruh kekuasaan politik atas agama. Namun, di dalam tradisi Cina, keberlanjutan dengan tradisi masa lalu adalah sesuatu yang dianggap penting. Ini juga berlaku untuk Zen Buddhisme yang berkembang Cina Selatan pada masa-masa itu. Mereka pun melihat Hui-Neng, Patriakh Zen yang keenam, sebagai leluhur mereka.
Seperti sudah disinggung sebelumnya, ada dua aliran besar yang nantinya menyebar sampai Jepang, yakni Rinzai Zen dan Soto Zen. Kedua aliran tersebut masih ada sampai sekarang ini, dan menyebar ke berbagai belahan dunia lainnya. Aliran Rinzai Zen didirikan oleh Nan-yueh Huai-jang yang hidup pada 677-744. Sementara, aliran Soto Zen dapat ditelusuri kembali pada Ch’ing-yuan Hsing-ssu yang meninggal pada sekitar 740. Huai-jang, pendiri Rinzai Zen, diduga pernah belajar langsung pada Hui-Neng, Patriakh Zen yang keenam. Huai-Jang nanti mempunyai seorang murid yang bernama Ma-tsu Tao-i yang hidup dari 709 sampai 788. Ma-tsu bisa dibilang melengkapi dasar dari Rinzai Zen. Ia memiliki peran yang amat besar dalam membentuk cara berpikir Buddhis yang mendasari Rinzai Zen. Saya akan mencoba menjabarkan beberapa pemikirannya sebagai dasar untuk memahami spiritualitas agama tanpa “agama.”
Nama Ma-tsu berarti juga “guru Ma”. Ia lahir di propinsi Szechuan dan telah menjadi biksu Buddhis sejak usia muda. Ketika muda, seperti banyak biksu Zen Buddhis lainnya, ia berkelana ke berbagai Kuil Buddha, dan akhirnya hidup dan belajar di Kuil Buddha yang dipimpin oleh Huai-jang di Gunung Nan-Yueh. Perjumpaan antara Ma-tsu dan Huai-jang amat terkenal. Perjumpaan ini menandakan sikap kritis Zen Buddhisme pada praktik-praktik tradisional Buddhisme yang telah ada sebelumnya, termasuk, ironisnya, praktek meditasi berjam-jam, guna sampai pada pencerahan batin. Suatu waktu, Huai-jang, sang Zen Master, melihat Ma-tsu yang sedang bermeditasi. Huai-jang pun bertanya, apa tujuannya bermeditasi. Ma-tsu segera menjawab, “Saya ingin menjadi Buddha, yakni manusia yang tercerahkan.” Huai-jang tidak menanggapi jawaban itu. Ia mengambil batu dan mulai menggosok batu itu ke batu lainnya. Ma-tsu merasa penasaran, mengapa gurunya melakukan itu. Ia pun bertanya, “Mengapa guru melakukan itu?” Gurunya menjawab, “Aku mau mengubah batu ini menjadi cermin.” Ma-tsu menanggapi, “Bagaimana mungkin?” Gurunya melanjutkan, “Bagaimana kamu bisa mencapai pencerahan batin dengan duduk dan bermeditasi?” Bagi Huai-jang, pandangan yang nantinya juga dianut oleh Ma-tsu, pencerahan batin (menjadi Buddha- manusia yang tercerahkan) adalah sebuah tindakan aktif, dan bukan tindakan pasif, seperti bermeditasi. Ia tidak dapat diraih dengan duduk diam, melainkan dengan hidup yang aktif.
Selain memiliki pemikiran yang maju, sosok fisik Ma-tsu juga amat berkesan untuk murid-muridnya. Sebagaimana dinyatakan oleh Hoover, Ma-tsu memiliki tatapan mata seperti singa. Ia bisa menyentuh hidungnya dengan lidahnya.5 Di telapak kakinya, ada tanda berbentuk roda. Di antara murid-murid Huai-jang, hanya Ma-tsu yang memperoleh pengakuan untuk meneruskan ajaran-ajarannya. Namun, sumbangan tertinggi Ma-tsu bagi perkembangan Zen Buddhisme terletak pada metode mengajarnya, yakni dengan memberi kejutan mendadak pada para muridnya, sehingga mereka bisa sampai pada pencerahan batin, dan menjadi Buddha. Di dalam tradisi Zen, pencerahan batin bisa dicapai, jika orang mampu memahami hakekat dirinya sendiri. Pemahaman akan hakekat diri juga berarti pemahaman akan hakekat terdalam dunia. Namun, Hui-neng, yang dikenal sebagai Patriakh Zen keenam, tidak memberikan cara yang jelas, bagaimana orang bisa sampai pada pemahaman semacam ini. Meditasi berjam-jam dan melakukan berbagai ritual Buddhis tentu tidak cukup untuk sampai pada pencerahan batin.
Ma-tsu adalah guru Zen pertama yang mengembangkan metode tanpa meditasi dan tanpa ritual untuk mencapai pencerahan batin. Intinya adalah membawa orang keluar dari kebiasaan berpikir rasionalnya, dan masuk ke dalam kondisi “tanpa pikiran”. Ia mencoba berbagai cara, supaya orang bisa melepaskan kebiasaan berpikir logis dan rasionalnya. Pencerahan batin adalah kondisi pikiran yang melampaui nalar dan logika. Para muridnya nantinya juga akan mengembangkan beragam metode, guna memecah kebiasaan berpikir logis dan rasional. Biasanya, Ma-tsu akan mengajukan pertanyaan yang tak akan bisa dijawab dengan rasionalitas dan logika. Ia adalah guru Zen pertama yang menggunakan metode semacam ini, guna memicu pencerahan batin murid-muridnya. Ketika ditanya oleh Ma-tsu, biasanya pertanyaan yang tak akan bisa dijawab dengan rasionalitas dan logika, muridnya biasanya akan mengalami kebingungan. Pada saat ini, Ma-tsu akan berteriak, “HO!!”, ke telinga muridnya. Pada saat itu pula, muridnya akan mengalami kondisi di luar akal budi dan logika, yakni apa yang disebut Ma-tsu sebagai pikiran tanpa dualisme, yakni tanpa pembedaan. Semua hal, walaupun sejenak, dilihat sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan.
Cara lainnya adalah dengan memanggil nama seseorang, tepat ketika orang tersebut telah pergi dari ruangan. Tindakan ini akan menghasilkan kejutan. Selama sesaat, ia akan terputus dari rantai berpikir logis dan rasionalnya, serta merasakan hakekat aslinya yang bersifat intuitif. Cara lainnya adalah dengan memukul seorang murid, ketika ia mulai merenungkan sesuatu dengan akal budinya. Pukulan ini ditujukan untuk melepaskan orang dari renungan rasionalnya, dan masuk ke dalam ranah intuisi untuk memahami hakekat diri aslinya. Cara lainnya adalah dengan memberikan jawaban yang tidak masuk akal atas pertanyaan yang diajukan oleh murid. Tujuannya adalah, supaya murid sadar, betapa dangkal dan tidak relevannya pertanyaan yang diajukan. Ma-tsu juga sering mengirim seorang murid untuk berdiskusi dengan murid-muridnya untuk hal-hal yang tidak masuk akal. Ia berharap, sang murid bisa menyadari dangkal dan bodohnya dari pertanyaan yang ia ajukan, ketika ia berjumpa dengan berbagai pribadi lainnya yang juga mencoba menghayati Zen Buddhisme. Ma-tsu mengembangkan berbagai teknik, guna menggoyang semua kebiasaan berpikir rasional dan logis murid-muridnya. Baginya, pencerahan batin tidak akan pernah bisa dicapai dengan akal dan logika. Ia hanya bisa diraih melalui intuisi tentang hakekat terdalam dari seluruh kenyataan yang ada. Intuisi ini bersifat aktif, dan tidak bisa didapatkan begitu saja dari meditasi yang bersifat pasif. Pukulan, kejutan, jawaban dan pertanyaan-pertanyaan yang tidak masuk akal bisa membuat orang berpikir secara aktif, dan menemukan intuisi yang mendorong pencerahan batinnya.
Ma-tsu juga mencoba merumuskan ulang arti dari pencerahan batin yang merupakan tujuan utama dari semua praktik Buddhisme. Baginya, pencerahan batin berarti melihat ke dalam hakekat dirinya sendiri secara intuitif. Dan karena hakekat diri dan hakekat dari segala yang ada adalah sama, maka melihat hakekat diri sendiri berarti juga melihat hakekat dari segala yang ada. Semua ini dilakukan tidak dengan menggunakan akal budi dan logika, melainkan intuisi. Metode untuk mengajarkan pemahaman ini tidak bisa dengan metode biasa yang digunakan, seperti menggunakan konsep dan akal budi untuk memahami sesuatu. Ini hanya akan menghasilkan pemahaman intelektual yang tidak banyak memberikan peran di dalam pencerahan batin. Seperti dijelaskan sebelumnya, Ma-tsu mencoba mengembangkan cara-cara baru untuk mengajarkan pemahaman intuitif semacam ini. Setiap gerak, bahkan diam, bisa digunakan untuk membawa orang pada pemahaman intuitif. Sakyamuni Buddha bahkan bisa mendorong muridnya untuk mencapai pencerahan batin hanya dengan memegang setangkai bunga.
Bisa juga dikatakan, bahwa inti dari pendidikan Zen adalah pemahaman intuitif. Semua orang bisa mencapai pencerahan batin, asal ia bisa melihat hakekat dirinya sendiri secara intuitif. Akar dari pencerahan batin, menurut tradisi Zen, adalah pikiran manusia. Pikiran itu lalu tercermin di dalam setiap tindakan dan keputusan manusia dalam hidupnya. Pencerahan batin adalah kondisi, dimana manusia melepas semua pikiran rasional dan logisnya, serta masuk sepenuhnya ke dalam pemahaman intuitif. Segala bentuk meditasi dan ritual, jika tidak mampu menyentuh pemahaman intuitif, hanya akan menjadi tindakan yang tidak berguna. Yang hanya perlu dilakukan adalah melepas segalnya, dan menjadi alamiah seutuhnya. Kita bisa duduk, berjalan, tidur, dan memasak. Asalkan semuanya dilakukan secara alamiah dan intuitif, maka kita sedang menuju ke dalam pencerahan batin, begitu kata Ma-tsu.6 Pikiran harus dilepaskan dari segala kategori rasional dan logis, sehingga ia bisa menjadi bebas seutuhnya. Jangan ingin berbuat jahat, dan juga jangan ingin berbuat baik. Tidak ada hukum untuk mengatur hidup. Tidak ada pencerahan batin yang ingin dicapai. Kebebasan berpikir yang dijaga melalui intuisi dan menolak untuk menggantungkan diri pada apapun, itulah pencerahan batin, bagi Ma-tsu.7
Ma-tsu, sebagai seorang tokoh penting di dalam tradisi Zen Buddhisme, tidak hanya menolak ritual yang menjadi ciri tradisional dari Buddhisme, tetapi juga merumuskan ulang arti dari pencerahan batin itu sendiri. Baginya, pencerahan batin bukanlah sebuah konsep religius yang suci dan luhur, melainkan suatu keadaan manusiawi yang bisa dialami setiap orang. Ma-tsu sendiri telah mempelajari Buddhisme tradisional dengan segala teks dan ritualnya. Namun, baginya, itu semua hanya alat untuk mencapai pencerahan batin. Ada cara lain yang mungkin lebih baik, yang bisa ditempuh untuk mencapai tujuan yang sama. Ma-tsu menggunakan bahasa sehari-hari untuk mengajarkan Zen kepada orang banyak, supaya mereka juga bisa sampai pada pencerahan batin. Kuncinya adalah melihat ke dalam hakekat diri sendiri secara intuitif. Tidak ada usaha manusia yang bisa dicapai untuk mencapai pencerahan batin, kecuali menyingkirkan semua pikiran logis dan rasional, dan kemudian menunggu momen pencerahan batin. Tentu saja, sebagai guru Zen, Ma-tsu berusaha menemukan cara-cara baru untuk mendorong orang melepaskan pikiran logis dan rasionalnya.
Meditasi hanya salah satu jalan untuk mencapai pencerahan batin. Itu pun, bagi Ma-tsu, bukanlah jalan yang paling baik. Sejauh sebuah cara mampu mendorong munculnya intuisi atas dunia, maka cara itu yang paling diutamakan untuk mencapai pencerahan batin. Selama sebuah cara mampu mendorong pembebasan pikiran dari berbagai analisis rasional dan logika, maka cara itulah yang perlu diutamakan untuk mencapai pencerahan batin. Ketika pikiran manusia terjebak di antara kutub-kutub, misalnya benar-salah, baik-buruk dan hidup-mati, maka ia akan terus terjebak dalam kebingungan dan penderitaan hidup. Ia tidak akan bisa sampai pada pencerahan batin. Dasar dari pencerahan batin, bagi Ma-tsu, adalah kebenaran itu sendiri. Namun, kebenaran itu bukanlah konsep “kebenaran” yang bersifat rasional dan logis, melainkan intuisi tentang kebenaran yang lahir dari persentuhan langsung dengan kenyataan yang ada, tanpa konsep dan tanpa pikiran. Semua ini bisa dilakukan dalam hidup sehari-hari, yakni ketika orang menjalani hidupnya sehari-hari dengan intuisi penuh akan hakekat dari kenyataan yang ada, tanpa pertimbangan rasional dan logis, dan tanpa pertimbangan baik-buruk.
Dengan sikap hidup semacam ini, orang akan mencapai pencerahan batin. Dengan pencerahan batinnya, ia akan bersikap sesuai dengan yang dibutuhkan pada keadaan tertentu yang ada di depan matanya. Ia akan menjadi pribadi yang tanggap terhadap keadaan yang ada, dan bukan pribadi yang cuek atau justru reaksioner-emosional, seperti kebanyakan orang, ketika menghadapi keadaan yang jelek. Pemahaman intuitif, yang merupakan inti dari Zen Buddhisme ini, dapat diperoleh dengan mendengar berbagai cerita pendek yang berkembang dari pembicaraan antara guru dan murid di dalam tradisi Zen Buddhisme. Cerita ini menjadi dasar untuk mencapai pengalaman akan intuisi. Orang yang mendengar cerita-cerita ini lalu juga bisa berkaca, dan melihat pengalaman serta hakekat dirinya sendiri. Di samping cerita-cerita pendek semacam ini, Ma-tsu juga menggunakan metode lama, yakni memberikan kuliah umum. Di dalam kuliah-kuliah ini, Ma-tsu tidak memberikan pemahaman baru, melainkan metode baru untuk mengajak orang menemukan intuisinya. Thomas Hoover menafsirkan, bahwa inti dari kuliah-kuliah Ma-tsu adalah penegasan, bahwa dunia adalah semata pikiran manusia. Pencerahan batin hanya dapat dicapai, jika orang menyadari hal ini tidak dengan akal budi dan logikanya, melainkan dengan intuisinya.
Pikiran manusia, bagi Ma-tsu, adalah Buddha. Buddha, atau kondisi pencerahan batin, tidak berada di luar manusia, melainkan di dalam pikirannya. Orang yang mencari pencerahan batin di luar dirinya tidak akan menemukan apapun, karena tidak ada yang dicari. Pikiran yang bersih dari segala “pikiran” adalah Buddha. Tidak ada pembedaan antara baik dan buruk, karena pikiran yang asali, yakni pikiran yang bersih, melampaui semua pembedaan yang biasa kita temukan di dalam dunia. Di dalam hidup, menurut Ma-tsu, kita tidak boleh memilih yang baik dan menolak yang buruk. Keduanya merupakan gangguan pada kemurnian pikiran kita. Keduanya adalah kosong dan ilusi yang harus dihindari, jika orang ingin mencapai pencerahan batin. Nilai baik dan buruk adalah hasil ciptaan manusia. Ia masih terjebak pada dunia sosial. Yang lebih dalam lagi adalah intuisi tentang kenyataan yang berada melampaui penilaian baik dan buruk tersebut. Di dalam intuisi ini, dunia adalah satu. Ia tidak dipisahkan oleh kutub-kutub penilaian. Inilah yang disebut sebagai pemikiran non-diskriminatif, yakni pemikiran yang tidak lagi membeda-bedakan. Jika orang memahami ini dengan intuisinya, maka segala bentuk pembedaan akan menjadi tidak berarti baginya.
Jika dunia adalah ciptaan dari pikiran, dan pikiran manusia mesti dilampaui untuk sampai pada pemahaman intuitif dan pencerahan batin, maka dunia pun sejatinya adalah sesuatu yang harus dilampaui dengan intuisi. Segala sesuatu yang ada pada dasarnya adalah kekosongan. Ia terus berubah, karena ia tidak memiliki hakekat yang tetap, demikian kata Ma-tsu. Jika ia tampaknya ada, maka itu adalah ciptaan dari pikiran kita yang juga nantinya akan berubah. Segala yang ada adalah pantulan dari pikiran, dan pikiran manusia juga sejatinya adalah kekosongan itu sendiri. Ini adalah pemahaman dasar dari pencerahan batin di dalam Zen Buddhisme, menurut Ma-tsu. Jika orang memahami ini tidak secara rasional dan logis, melainkan secara intuitif, maka ia akan menjalani hidupnya dengan tenang, seolah semuanya transparan dan kosong. Dengan pola hidup semacam ini, ia pun lebih terdorong untuk meningkatkan mutu hidup spiritualnya. Inilah inti dari segala latihan di dalam Zen Buddhisme, menurut Ma-tsu. Pencerahan batin berarti menghadapi hidup dan melihat diri sendiri serta segala pikiran yang ada sebagai sesuatu yang kosong dan ilusif. Pengetahuan intelektual tentang hal ini tidaklah mencukupi untuk sampai pada pencerahan batin. Orang harus mengalami kekosongan ini secara intuitif. Di dalam salah satu Koan,8 Ma-tsu berdiskusi dengan salah satu muridnya tentang hakekat dari Zen Buddhisme. Muridnya bertanya, “Apa itu Buddha?” Ma-tsu menjawab, “Pikiran adalah Buddha. Tidak ada pikiran, tidak ada Buddha.” Dalam arti ini, Buddha adalah kondisi pencerahan batin.
Dari dialog ini bisa disimpulkan, bahwa pencerahan batin adalah kondisi pikiran manusia. Maka, pencerahan batin berarti juga pencerahan pikiran. Kenyataan dan dunia adalah ciptaan dari pikiran manusia. Tidak ada pencerahan batin di luar pencerahan pikiran manusia. Ada cerita lainnya. Seorang murid bertanya kepada Ma-tsu, “Apakah pikiran sungguh adalah Buddha?” Ma-tsu menjawab, “Karena aku ingin menghentikan tangis seorang bayi.” Sang murid merasa bingung dengan jawaban itu. Ia pun melanjutkan, “Ketika tangisnya berhenti, lalu apa?” Ma-tsu menjawab, “Bukan pikiran, bukan Buddha.” Sang murid kembali menjawab, “Bagaimana kamu mengajarkan orang untuk bisa berpikir seperti itu?” Kata Ma-tsu, “Saya akan bilang pada mereka, ‘bukan-pikiran’, ‘bukan-sesuatu’.” Kata muridnya, “Jika kamu bertemu dengan orang yang telah bebas dari keterikatan dengan segala sesuatu, apa yang akan kamu katakan padanya?” Jawab Ma-tsu, “Saya akan membiarkan dia mengalami Tao yang sesungguhnya.” Tao disini berarti “jalan” menuju pencerahan batin.
Dari dialog ini, seperti dinyatakan oleh Hoover, kita bisa melihat ciri khas dari cara mengajar Ma-tsu. Terkadang, ia menggunakan kata-kata positif. Lalu, ia berubah menggunakan kata-kata negatif. Dua bentuk kalimat ini jelas mengundang kebingungan dari pendengarnya. Namun, gaya semacam ini haruslah dimengerti dalam konteks tujuan pendidikan Zen, yakni mengajak orang untuk melampaui cara berpikir logis dan rasional, lalu memasuki pemahaman yang bersifat intuitif, dimana paradoks dan kontradiksi menjadi ciri yang utama. Metode dialog ini dapat juga dimengerti sebagai dialektika, yakni pengembangan argumen melalui percakapan timbal balik. Dan tujuan yang ingin dicapai, yakni pemahaman intuitif tentang hakekat dari segala sesuatu, dapat dimengerti sebagai transrasionalitas, yang berarti melampaui rasionalitas. Hoover memberikan contoh lainnya dari dialog antara Ma-tsu dengan muridnya. Suatu waktu, seorang murid bertanya kepada Ma-tsu tentang kesehatan tubuhnya. Ma-tsu menjawab, “Buddha berwajah matahari, Buddha berwajah bulan.” Di dalam tradisi Zen Buddhisme, Buddha berwajah matahari hidup selamat 1800 tahun. Sementara, Buddha berwajah bulan hanya hidup satu hari dan satu malam. Dari jawaban ini, Ma-tsu ingin menunjukkan, betapa tidak pentingnya pertanyaan dari muridnya tersebut. Tubuh fisik sama sekali tidak memiliki nilai. Yang sungguh bernilai adalah kondisi pikiran.
Tujuan dari pendidikan Zen, bagi Ma-tsu, adalah melepaskan manusia dari logika dan pembedaan-pembedaan yang ia buat di dalam hidupnya, misalnya pembedaan antara baik dan buruk, benar dan salah, aku dan kamu, dan sebagainya. Ada lagi cerita lainnya yang dikutip Hoover untuk menjelaskan, bagaimana Ma-tsu membongkar cara berpikir muridnya yang masih terjebak pada pembedaan-pembedaan di dalam kenyataan. Cara berpikir yang membeda-bedakan ini disebut juga sebagai dualisme. Seorang guru Zen bertanya kepada Ma-tsu, “Apa yang diajarkan oleh para guru Zen?” Ma-tus kemudian menjawab dengan mengajukan pertanyaan, “Apa yang telah kau ajarkan?” Sang guru Zen menjawab, bahwa ia telah mengajarkan tentang Sutra dan Sastra dari Buddha. Semua itu merupakan teks-teks tradisional yang menjadi dasar bagi Buddhisme. Ma-tsu kemudian menanggapi, “Apakah kamu seekor singa?” Sang guru Zen menjawab, “Saya tidak mau menjawab pertanyaan itu.” Ma-tsu kemudian menghembuskan nafasnya, tanda kecewa. Sang guru Zen kembali bertanya, “Apakah ini cara mengajarkan Zen?” Ma-tsu menanggapi, “Apa maksudmu? Cara singa keluar dari kandang? Ketika tidak ada jalan keluar dan jalan masuk, apa itu lalu?” Sang guru Zen tidak menjawab.
Salah satu gaya mengajar Ma-tsu adalah dengan mengajukan pertanyaan yang tak bisa dijawab dengan akal dan logika. Ini yang di dalam tradisi Zen Buddhisme disebut sebagai Mondo. Pertanyaan yang diajukan kerap kali tak berhubungan dengan konteks percakapan. Orang yang mendengar pun akan bingung, karena ia seolah terputus dari rantai logika dan akal budi. Pada titik inilah, menurut saya, dialektika transrasionalitas menemukan puncaknya. Cara mengajar yang dikembangkan oleh Ma-tsu ini merupakan pengembangan dari apa yang telah dimulai oleh Patriakh Zen keenam, yakni Hui-neng. Inti dari Mondo adalah penegasan, bahwa dunia dan segala kenyataan yang ada merupakan bentukan dari pikiran kita, dan segala sesuatu harus dikembalikan pada pikiran itu sendiri. Hoover memberikan satu contoh lainnya.
Seorang biksu menggambar empat garis di depan Ma-tsu. Garis yang atas panjang, dan tiga garis lainnya pendek. Ia kemudian bertanya kepada Ma-tsu, “Selain menyatakan, bahwa satu garis atas panjang dan tiga garis lainnya pendek, apalagi yang dapat kamu katakan?” Ma-tsu kemudian menggambar satu garis di tanah dan berkata, “Ini bisa disebut panjang atau pendek. Inilah jawabanku.” Sekali lagi, Ma-tsu menegaskan, bahwa bahasa itu tidak mampu menyampaikan kerumitan kenyataan. Dengan kata lain, sebagaimana dinyatakan oleh Hoover, bahasa itu menipu. Namun, ini bukan berarti, bahwa bahasa sama sekali tidak berguna. Bahasa bisa merumuskan kalimat yang logis. Akan tetapi, ia juga bisa jadi alat untuk mematahkan logika dan melampaui akal budi, yakni dengan memasuki ruang irasionalitas, dan mengajak orang untuk masuk ke dalam pemahaman intuitif. Di dalam pendidikan Zen, bahasa justru berguna, ketika ia tidak menyampaikan apa yang ingin disampaikan.
Ma-tsu hidup di dalam sebuah tradisi Zen dari Cina Selatan. Di dalam tradisi ini, pencerahan batin adalah proses yang bisa terjadi secara tiba-tiba, karena sebuah peristiwa yang dialami secara intuitif. Namun, melampaui para guru Zen sebelumnya, Ma-tsu berhasil menemukan cara untuk memicu pencerahan batin yang bersifat tiba-tiba ini. Caranya adalah dengan melalui teriakan dan pukulan ke tubuh untuk mendorong orang keluar dari delusinya, dan mencapai pencerahan batin. Cara semacam ini nantinya akan berkembang di tangan murid-murid dari Ma-tsu. Salah satunya adalah Lin-chi yang akan dibahas di bagian berikutnya. Cara mengajar semacam ini juga akan berkembang di dalam tradisi Rinzai-Zen yang masih hidup dan berkembang terus di Jepang, Amerika dan Eropa. Seperti sudah dijelaskan sebelumnya, percakapan sehari-hari juga menjadi metode mengajar Ma-tsu. Misalnya, seperti dikutip oleh Hoover, seorang biksu bertanya kepada Ma-tsu, “Apa tujuan dari Bodhidharma (pendiri Zen di Cina) datang ke dari India? Dan apa prinsip dasar dari Zen?” Tiba-tiba, Ma-tsu memukulnya, sambil berkata, “Jika saya tidak memukulmu, semua orang di tempat ini akan menertawakan saya.” Si biksu mencoba bangun, setelah terjatuh, karena pukulan Ma-tsu. Tiba-tiba, ia baru saja merasakan kenyataan disini dan saat ini. Ia mengalami pencerahan batin disitu.
Tidak semua pukulan dimaksudkan untuk mendorong lahirnya pemahaman intuitif. Tidak semua bentakan akan mendorong pencerahan batin. Ma-tsu memukul murid-muridnya dan orang-orang yang mengajukan pertanyaan kepadanya dengan tujuan untuk mengajak mereka mencerap saat ini dan disini. Ia ingin memecah kecenderungan berpikir logis dan rasional dengan mengajak mereka memasuki saat “kaget”, yakni saat dimana intuisi menjalankan perannya. Ada satu pengandaian yang menarik untuk ditelaah lebih dalam disini, bahwa pencerahan batin, atau menjadi Buddha, yang merupakan tujuan utama Buddhisme, tidak hanya merupakan pengalaman batin, tetapi juga pengalaman badan. Maka dari itu, ia pun bisa dicapai dengan kontak badan, seperti pukulan.9 Ada satu cerita lainnya, dimana Ma-tsu juga mengalami “kontak badan”.
Suatu waktu, Ma-tsu sedang duduk di kebun. Muridnya mendorong kereta. Posisi duduk Ma-tsu menghalangi muridnya tersebut. Muridnya meminta Ma-tsu untuk mengubah posisi duduknya, supaya kereta bisa lewat. Ma-tsu pun berkata, “Apa yang sudah dibuka tidak bisa ditutup lagi.” Muridnya menanggapi, “Apa yang sudah didorong maju tidak lagi dapat ditarik ke belakang.” Ia mendorong terus keretanya, dan menabrak kaki Ma-tsu. Kakinya pun cedera. Tak berapa lama kemudian, Ma-tsu masuk ke kuil. Sambil memegang kapak tajam, ia berkata, “Siapa yang tadi melindas kaki saya silahkan maju ke depan!” Sang murid pun tak ragu untuk menyatakan dirinya. Ia memberikan lehernya untuk dipotong oleh Ma-tsu. Namun, Ma-tsu tidak melakukan apapun, dan menurunkan kapaknya. Inilah suasana hubungan antara Ma-tsu dan murid-muridnya pada tahun 750 di Cina. Ia juga harus rajin dan cerdas dalam ranah praktis dan ranah spiritual, supaya bisa menjadi contoh dan kemudian membimbing murid-muridnya.
Zen Buddhisme hendak mengajak orang untuk menata pikirannya yang kerap tak beraturan.10 Sumber dari segala penderitaan dan juga kebahagiaan manusia adalah pikirannya. Jika pikirannya tak beraturan, misalnya tercampur dengan kenangan menyakitkan dari masa lalu dan harapan yang berlebihan akan masa depan, maka ia akan menderita. Jika pikirannya tertata, dan berakar di keadaan disini dan saat ini, maka ia akan menemukan kebahagiaan yang sesungguhnya. Jadi, kuncinya adalah menata pikiran. Di dalam tradisi Zen Buddhisme di Cina, pikiran-pikiran tak beraturan manusia kerap dilihat sebagai seekor banteng. Ia sulit diatur, sehingga bisa merusak segala yang ada di sekitarnya. Ia bukanlah binatang jahat, hanya sulit diatur. Dengan cara mengajar dan pandangannya yang unik, Ma-tsu juga mencoba untuk masuk ke dalam persoalan ini. Suatu waktu, Ma-tsu bertanya kepada muridnya, “Apa yang kamu lakukan?” Pertanyaan semacam ini tidak pernah boleh dijawab dengan logika dan rasionalitas biasa, terutama jika ditanyakan oleh Ma-tsu. Muridnya menjawab, “Saya sedang menggembala banteng.” Artinya, ia sedang berusaha menata pikirannya. “Bagaimana kamu melakukannya?”, tanya Ma-tsu. Muridnya menjawab, “Kapanpun si banteng ingin makan rumput, saya memukulnya di hidung, supaya ia kembali tegak.” Ma-tsu agak kaget mendengar tanggapan tersebut. Ia pun berkata, “Jika kamu bisa melakukan itu sendiri, maka lebih baik saya pensiun.”
Mengatur pikiran adalah keutamaan yang amat penting di dalam tradisi Zen Buddhisme. Namun, menata pikiran, yang juga berarti menata keseluruhan diri, bukanlah tujuan pada dirinya sendiri, melainkan hanya cara untuk mencapai tujuan lain. Segala aturan di dalam tradisi Zen, yang memang bertujuan untuk menata pikiran, adalah alat untuk mencapai tujuan lain, yakni pencerahan batin. Ketika orang mencapai pencerahan batin, maka pencerahan batin tidak lagi berarti baginya. Bahkan, pencerahan batin akan tampak seperti lelucon belaka. Konsep dan bahasa yang digunakan pun juga harus dilihat sebagai alat, dan tidak boleh dianggap sebagai kebenaran itu sendiri. Suatu waktu Ma-tsu kedatangan tamu seorang pejabat besar. Sang pejabat berkata, “Guru, haruskah aku makan daging dan minum anggur?” Ma-tsu tidak memberikan jawaban langsung. Ia mengajukan sebuah cara berpikir. “Makan dan minum adalah hakmu sebagai manusia. Tidak makan daging dan minum anggur adalah kesempatanmu untuk mendapat berkat lebih tinggi.” Dalam konteks ini, Ma-tsu menjawab dengan bahasa yang singkat. Ia tidak mau memberi kesan, bahwa bahasa-bahasa yang indah dan rumit akan memberikan pencerahan batin. Justru sebaliknya, bahasa yang rumit dan indah akan menjauhkan orang dari pemahaman.
Suatu waktu, seorang biksu mengajukan pertanyaan kepada Ma-tsu. “Apa artinya, bahwa Bodhidharma datang ke Cina?” Ma-tsu menjawab, “Apa maksud pertanyaanmu saat ini?” Zen Buddhisme bukanlah soal teori dan abstraksi atas peristiwa. Ia bukanlah analisis sebab akibat dari suatu peristiwa. Yang menjadi fokus utama dari Zen adalah dirimu disini dan saat ini. Pada titik tertentu, diri akan menghilang, dan orang akan sampai pada pencerahan batin. Hampir setiap hari, Ma-tsu mengajukan pertanyaan pada murid-muridnya. Ia juga terlibat dalam berbagai interaksi dengan muridnya yang bertujuan untuk mendorong muridnya mencapai pemahaman intuitif dan pencerahan batin. Suatu hari, Ma-tsu sedang duduk bersama tiga orang muridnya. Ia bertanya kepada mereka, “Apa yang sebaiknya kita lakukan sekarang ini?” Murid pertama menjawab, “Akan sangat baik, jika membaca tulisan-tulisan orang-orang dari masa lalu yang telah mengalami pencerahan batin.” Murid kedua menjawab, “Akan lebih baik lagi, jika kita bermeditasi.” Murid ketiga tidak berkata apa-apa. Ia berdiri, membersihkan pakaiannya dan meninggalkan ruangan. Bagi Ma-tsu, inilah jawaban yang “paling tepat”. Sikap ini, bagi Ma-tsu, adalah tanda, bahwa tindakan nyata, yakni berdiri dan meninggalkan ruangan, lebih berharga daripada abstraksi dan tindakan religius.
Hoover menegaskan, bahwa dengan metodenya yang unik, Ma-tsu memiliki 139 murid yang telah mengalami pencerahan batin. Mereka akhirnya menyebar, dan menjadi guru Zen di berbagai biara Buddhis di Cina. Mereka di kenal sebagai Zen dari Selatan, yakni dari Cina bagian Selatan. Sepanjang hidupnya, Ma-tsu tidak pernah menulis. Cerita tentang kisah hidupnya diperoleh dari catatan para muridnya. Konon, seperti dicatat oleh Hoover, ia meninggal dengan cara yang sama seperti guru-guru Zen lainnya. Ia meramalkan kematiannya sebulan sebelumnya. Ketika waktunya tiba, ia mandi, bermeditasi dan meninggal dalam keadaan tenang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar